Tak Ada Kucing yang Bersedih Hari ini

AKU PERNAH melihatmu menangis, kali pertama itu, di sebuah kamar. Itu akhir tahun dan bulan Desember bukan milikku. Itu juga bukan bulanmu. Kamu telah mengakhiri hubungan dengan pacarmu dan semua jalan, yang kelak kamu lalui, ialah kesendirian yang melaju lambat.

Pagi itu bolamata kita mendadak menciptakan air raya hingga mengharuskan kita membangun perahu. Namun di tangan kita hanya ada galah, dan kita baru belajar berenang selagi kita hanya mampu menganyam rakit. Arusnya kencang sekali sampai-sampai kita tak menyimak nyanyian sekelompok burung dari pohon pekarangan rumah itu di sebuah kota yang pekak dengan kendaraan bermotor. Aku mengerti kini tentang pepatah lama bahwa persahabatan terbaik datang tatkala kita dihempas kesedihan hebat.

Tetapi yang membuatmu sedih, berjalan mendahuluimu, adalah sesuatu yang hilang dari Rumah Ceria. Teman-teman yang kamu sayangi pernah datang ke rumah itu, sekadar mengobrol seharian atau, seperti diriku, menidurkan kegetiran. Seseorang membawa keceriaan dalam waktu terbaik saat kita memasak dan makan bersama.

Suatu keadaan membuat kalian berpisah. Ada yang menyusul suaminya. Ada yang pindah ke tempat baru. Begitupun kamu. Aku mengerti kemudian bahwa persahabatan terbaik membentuk mata kedua, suatu mata imajiner yang membawa kita mengenang masa-masa bersama dan membayangkan apa yang dilakukan sahabat kita saat kita mengingatnya. Itu sejenis kesedihan dari sebuah rongga di jantungmu, yang berdenyar dan berdenyar, saat kalian dipersatukan oleh langit yang sama.

Akhirnya kamu menemukan sebuah rumah di tengah keluarga muda yang, katamu sendiri, tak satu pun menghuni kata-kata kasar. Kamu bisa lebih dekat pergi ke kantor. Kamu bertetangga dengan jantung kota. Keriuhan berjarak bayangan gedung di sebelah rumah itu tapi memang, terhimpit gedung-gedung di atas kepala kita, kesunyian menetap di sekitar rumah tersebut.

Satu, dua, tiga, empat, hingga lima bulan, keluarga muda tersebut menemanimu dan, dalam situasi dewasa yang membuka perhitungan waktu dan jarak, mereka pun memilih pindah demi membangun kisah baru di tempat lain. Kamu sedih malam itu. Kamu sendirian lagi.

Tetapi kesendirian tak selamanya berpusing, sebagaimana kunang-kunang tak seterusnya berputar di kepala kita. Ada yang membentuk kita jauh lebih kuat, justru saat krisis melanda. Kakimu kian kukuh, betapapun kamu masih mencari sebuah rumah yang hilang di masa dulu, seperti ribuan polip membentuk koloni koral.

Kamu telah menebarkan keriangan, membantuku berdiri saat aku terjatuh, sementara di depan kakimu masih terhampar genangan air sisa hujan dari tangisan kemarin. Kini ada rencana-rencana di kepalamu dari sebuah peta yang terbuka, memerlihatkan tanah-tanah petualangan yang hendak kamu kunjungi. Tas ransel hitam adalah teman setia dalam perjalananmu bersama kisah-kisah baru yang akan kamu pungut dari daun-daun berwarna ungu yang jatuh di dekat kakimu.

Sekali itu kamu mengucapkan untukku di awal Juni bahwa hidup tak selamanya tentang sehelai roti, atau sebutir nasi. Ada yang bergerak di luar sana, orang-orang yang kalah, bukan karena mereka kalah, namun peruntungan di negeri ini ialah sebab yang tak terjawab dari hanya sebuah buku.

Kita bertukar cerita di tengah lalu-lalang kisah yang sibuk, kisah yang terbuka, di mana kamu menjadi tokoh-utamanya atau, dalam situasi tertentu, menjadi peran pendengar. Kamu membantuku dengan cara yang sederhana, bahkan hanya dengan menjadi lubang pohon rahasiaku.

Selamat ulangtahun, Sahabat. Aku melihat tak ada kucing yang bersedih hari ini. *

— 1 Juli 2011

Satu pemikiran pada “Tak Ada Kucing yang Bersedih Hari ini

  1. tak ada kucing yang bersedih memang, tapi banyak pasang mata yang menangis membaca ini, terima kasih ya Mas Fahri!

Tinggalkan komentar