Bulan: November 2009

Pak Tua dan Macan Betina

“Salah pemerintah kalau gigimu bolong. Salah pemerintah kalau kau sakit gigi.”

pak tua

LUIS  Sepulvedapengarang Cile, yang eksil ke Jerman lantaran pandangan politiknya melawan diktator Augusto Pinochet, pada 1989 menerbitkan novel Un viejo que leía novelas de amor (The Old Man Who Read Love Stories). Ia novel ringkas, diterjemahkan penerbit Marjin Kiri,  “Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta.” Novel ini juga dibikin versi film.

Pada 1970-an, di tengah Perang Dingin, kawasan Amerika Latin di-militerisasi-kan berkat bantuan Amerika Serikat. Praktis, negara-negara yang memangku ideologi sosialisme, semuanya dibabat. Sepulveda memilih eksil ke Eropa, karena di negara-negara tetangga juga tak aman bagi penulis dengan sikap dan pandangan seperti dia.

Pembukaannya menarik, dimulai dari seorang dokter gigi yang bertugas mencabut gigi-gigi para pemukim baru di satu kawasan Amazon (dia datang secara reguler), dan satu soal belakangan (penarik kisah novel ini) saat seorang penambang emas tewas oleh macan betina yang buas di musim hujan.

Tokoh kuncinya, alias mesin ceritanya, adalah Pak Tua (pendatang mula-mula), bernama Antonio José Bolivar Proaño (mengingatkan saya pada pendiri legendaris Amerika Latin, Simon Bolivar). Dia orang yang kesepian di masa tua. Istrinya meninggal jauh sebelum mereka bisa memahami kontur kehidupan di tengah hutan. Dia berbaur dengan penduduk lokal Amazon untuk tahu bagaimana “memperlakukan alam.” Terang, ini kisah dengan muatan politis yang sangat kental, kisah soal lingkungan, bertahun-tahun sebelum manusia diingatkan apa yang sekarang tenar disebut “perubahan iklim” atau “green movement” atau “ekologi politik.”

Kisah akhirnya, Pak Tua bergelut dengan macan betina yang ngamuk (ditinggal anaknya serta si jantan). Pemenangnya adalah Pak Tua, tapi dengan lirisisme. Sebab dari pertarungan itu (dengan konteks proyek transmigarasi, pejabat-pejabat yang korup dan sebagainya), tak ada yang betul-betul sebagai pemenang.

Si Pak Tua kembali ke gubuknya, dengan kesenangan membaca kisah cinta picisan, tapi diingatkan bahwa “kisah-kisah cinta macam itu terkadang meninabobokan kita akan realitas sosial dan politik […] dengan kata-kata yang demikian indah sampai kadang membuat [kita] lupa akan kebiadaban umat manusia.”

Saya suka sekali novel ini, tertawa geli, dengan narasi yang surealis dari Sepúlveda, menempatkan psikologi politik ke dalam benak tokoh-tokohnya, terutama si Pak Tua, di tengah sakit gigi-geraham kiri saya yang bolong, yang merupakan salah pemerintah. 😀

* Untuk tinjauan politik novel pengarang Cile yang lain, Isabel Allende, sila baca di sini.