Filep Karma

FK
Filep Karma di stasiun Tugu Yogyakarta setelah datang menghadiri sidang pra-peradilan atas kasus rasialisme yang menimpa mahasiswa Papua. ©2016

Ia besar bukan dengan peluru. Dan satu setengah bulan usai kejatuhan Soeharto menyulut bara kebebasan politik di Papua yang nantinya berumur pendek, sebutir peluru melesat begitu dekat hingga menggores sebilah pipinya dan ia merasakan panas dari timah api yang terbakar memancar di belakangnya. Ia bersyukur, bagaimanapun, dan menyadari berhari-hari kemudian saat dirawat di ranjang rumah sakit di samping seorang polisi, si opsir itu mengatakan bahwa peluru tersebut, yang akan membunuhnya bersama ratusan orang Papua lain yang dibuang ke laut di hari aksi menuntut referendum, sudah pasti datang dari penembak jitu. Ia ditangkap dan dijebloskan ke penjara dan ia mengajukan banding dan bebas. Tetapi, dengan menyimpan hati nurani yang makin bergolak, ia kembali mencium bilik jeruji negara Indonesia—kali ini dalam tempo yang panjang—dan itulah senjatanya: Seseorang dengan sepenuh sadar mengangkut kata-kata kebebasan yang diringkus dari kemerdekaan dan kemanusiaan yang dibunuh, dan sebab itulah ia dibui, dan kata-kata itu bukannya padam tapi justru kian menemukan api. (lebih…)

Kematian Seorang Waria

Dibakar hidup-hidup di Cilincing, Mira bangkit dan pulang sendiri ke rumah.

oleh Andreas Harsono*

 

WARIA itu dituduh mencuri dompet dan telepon genggam pada 4 April 2020 dini hari, di tempat parkir truk di Cilincing, pelabuhan Tanjung Priok, di utara metropolitan Jakarta. Si empunya dompet, seorang sopir, mengadu kepada beberapa preman yang menjaga tempat tersebut.

Mereka mendatangi Mira di kamar kost sederhana miliknya, rumah dua lantai di Gang Salak. Mira, seorang pekerja seks dan sering “mejeng” di tempat parkir, membantah. Mereka mengajak Mira datang ke tempat parkir (nama resminya Longroom New Priok Container),  sekitar 500 meter dari kontrakan, naik sepeda motor.

Mira mengenal para preman. Dia bersedia ikut.

Di tempat parkir, sang sopir melancarkan tuduhan. Ada sekitar 25 sopir, kenek, kuli angkutan, menyaksikan. Mira terdesak, tak kuasa membela diri. Seorang waria, seorang pekerja seks yang mulai menua, adalah minoritas ganda yang terlalu sering disingkirkan, dianggap menyimpang dan tak berdaya menghadapi tuduhan di tengah malam di sebuah tempat yang keras di Jakarta.

Beberapa preman menunjuk-nunjuk kepalanya, memukulnya. Mira lemas, jongkok. Lirih, dia tetap membantah. Seorang jagoan meningkatkan intimidasi dengan menuangkan dua liter bensin ke kepala Mira. Dia diancam dibakar. Hanya Orin, sesama waria, buang suara dan minta panggil polisi. Korek api dinyalakan, didekatkan ke Mira. Entah sengaja, entah tidak—sesuatu yang akan selalu jadi perdebatan—percik api jatuh ke pakaian dan tubuh Mira.

Wuuuuuuuusss.

Membara dengan cepat, api membakar rambutnya sampai gundul; wajahnya gosong.

Semua lari. Sopir, kenek, semuanya membubarkan diri. Orin juga lari. Mira dibakar hidup-hidup.

“Yang bakar itu berusaha memadamkan, disiram pakai air. Terus, bajunya Mira dilepasin, akhirnya ada got, Mira digeret dan dipadamkan, gitu,” kata Orin.

Mira lantas keluar dari got, dalam tubuh penuh luka, bangkit, jalan kaki, terseok-seok berusaha balik ke kontrakan. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Dia jatuh terduduk dekat musala sampai beberapa orang datang, mencari bantuan. Mereka membawa Mira ke rumah sakit Koja ketika azan subuh mulai bergema di Cilincing.

Keesokan harinya, Minggu, 5 April 2020, Mira meninggal dunia. Para kenalan dan kawan mengumpulkan sumbangan Rp 4 juta, dikumpulkan lewat Bu RT, buat membayar rumah sakit dan mengubur Mira.

Waria adalah bagian dari minoritas gender yang sering disingkat LGBTIQ—lesbian, gay, biseksual, transgender, intersex, dan queer. Mereka mengalami diskriminasi, penghinaan, penangkapan … ironisnya, sesudah Reformasi mulai bergulir di Indonesia. Menurut “Catatan Kelam 12 Tahun Persekusi LGBT di Indonesia” karya Arus Pelangi, 88 persen korban kriminalisasi LGBTIQ adalah para transgender atau waria.

Mira hanya lulusan sekolah dasar di Makassar. Dia lari dari penolakan keluarga—seperti kebanyakan waria—sehingga tak bisa sekolah dan kebanyakan kerja di salon, menjajakan seks atau menghibur di jalanan. Dia lantas pindah ke Jakarta, mengadu nasib tanpa pendidikan bahkan tanpa KTP.

Arus Pelangi mencatat ada 49 produk hukum dan kebijakan di Indonesia yang diskriminatif dan bisa dipakai buat kriminalisasi LGBTIQ. Ia mulai dari UU Anti Pornografi 2008—menilai kegiatan seks sesama jenis sebagai “menyimpang”—sampai Qanun Jinayah 2014 di Aceh yang menghukum individu yang terlibat kegiatan tersebut maksimal 100 cambukan atau penjara 100 bulan.

Polsek Cilincing menangkap si sopir dan beberapa preman dengan dugaan “pengeroyokan”—bukan pembunuhan—juga memeriksa Orin. Tanpa KTP, polisi bingung mencantumkan umur Mira. Bahkan nama lahirnya juga tak diketahui. Seseorang menyebut asal saja, Mira berumur 42 tahun.

“Biadab betul, ya ampun,” kata seorang netizen.

“Harusnya yang menyaksikan ditangkap juga karena membiarkan terjadinya pembunuhan,” kata lainnya.

Mira dipukuli. Mira dibakar hidup-hidup. Mungkin Mira tak kenal Qanun Jinayah atau UU Anti Pornografi. Mira hanya tahu dia selalu dirudung kesusahan sejak muda karena orientasi seksual dan identitas gendernya.

Sebagian besar waria di Indonesia memang ditolak keluarga. Ketika masih kecil, mereka dihina entah di sekolah, entah di rumah, akhirnya lari ketika remaja. Tanpa pendidikan, mereka minta bantuan dari sesama waria. Di Makassar, orang macam Mira mungkin bisa menjadi “bissu”—kaum pendeta dalam agama tradisional Tolotang, yang makin sedikit pemeluknya.

Indonesia yang berubah seyogyanya juga memberikan hak kepada mereka sebagai warga negara: pendidikan, administrasi negara, kesehatan dan hak mereka mencintai. Setidaknya Mira bangkit, berjalan, dan jatuh dekat musala, meregang nyawa di rumah sakit dan mati. Mira mau bangkit, berjalan, mungkin mau menunjukkan bahwa keadilan dan kebenaran harus ditegakkan.*

__

Andreas Harsono adalah wartawan dan peneliti hak asasi manusia. Menulis buku ‘Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia’ (Monash University Publishing; 2019).

 

Bagaimana Membakar Sebuah Buku

Dinukil dari Buku Perpustakaan, karya nonfiksi Susan Orlean—terbit Oktober 2018. Terinspirasi dari peristiwa bersejarah terbakarnya sebuah perpustakaan di California, Orlean menantang rasa hormatnya: membakar cetakan terbaru Fahrenheit 451.

oleh Susan Orlean

Aku memutuskan membakar sebuah buku, karena aku ingin melihat dan merasakan apa yang akan dilihat dan dirasakan Harry di hari itu jika dia berada di perpustakaan itu, jika dia menyalakan api.

Membakar sebuah buku sungguh luar biasa sulit buatku. Sebenarnya, melakukannya sangat mudah, tapi menyiapkannya sungguh pukimak. Masalahnya aku takkan pernah punya dorongan hati buat merusak sebuah buku. Bahkan pada buku yang tak kuinginkan, atau pada buku-buku yang sangat usang dan rusak sehingga tak bisa dibaca lagi, lengket seperti getah.

Aku menumpuknya dengan niat membuangnya, dan kemudian, setiap kali tiba waktunya, aku tak kuasa melakukannya. Aku senang jika buku-buku itu kuberikan atau kudonasikan. Tapi aku tak bisa membuang buku ke tong sampah, tak peduli seberapa keras aku mencobanya. Pada saat-saat terakhir, sesuatu yang lengket menempel kedua lenganku, dan sebuah sensasi yang menimbulkan rasa jijik tumbuh dalam benakku. Seringkali aku berdiri di dekat tong sampah, memegang sebuah buku yang sampulnya robek dan jilidannya rusak, menimbang-nimbang dengan buku terjuntai, dan akhirnya, aku membiarkan tong sampah itu tertutup dan aku menyeret kakiku dengan si buku pukimak—serdadu yang babak belur, lusuh, dan terluka yang punya kesempatan hidup di hari lain.

Satu-satunya hal nyaris sebanding perasaan ini yang pernah kulakukan saat aku berusaha membuang tanaman, bahkan sekalipun tanaman paling bondas, berkutu, berakar bengkok di dunia. Sensasi melempar sebuah benda bernyawa itulah yang membuatku mual. Memiliki perasaan yang sama pada sebuah buku mungkin tampak janggal, tapi inilah alasanku mengapa buku punya jiwa—alasan apalagi emangnya sehingga aku begitu enggan melemparnya?

Bukan pada perkara bahwa aku membuang sehimpun jilidan kertas yang mudah dicetak ulang. Bukan seperti itu perasaanku. Sebuah buku terasa seperti sehimpun wujud yang hidup saat ini, dan juga hidup dalam ruang dan waktu, sejak sepetik ide meresap dalam alam pikir penulis hingga saat dilahirkan dari mesin cetak—garis hidup yang berlanjut ketika seseorang duduk dengannya dan mengaguminya, dan terus merentang dari waktu ke waktu ke waktu. Sekali kata-kata dan pikiran dituangkan, buku bukan lagi sekadar kertas dan tinta dan lem: Ia semacam daya hidup manusia. Penyair Milton pernah menyebut kualitas yang terkandung dalam buku sebagai “potensi kehidupan.” Aku tak yakin aku punya kemampuan sebagai pembunuh.

Sangat mudah menyalin apa pun hari ini, dan kebanyakan buku hadir dalam kelipatan tiada habisnya; satu buku tak lagi menyimpan keunikan ketika lahir dari proses yang rumit dan sulit. Jadi membakar sebuah buku biasa seharusnya mudah buatku. Tapi ternyata tidak; tidak sama sekali. Aku bahkan tak bisa memilih sebuah buku buat kubakar.

Pertama kupikir aku bisa membakar sebuah buku yang tak kusuka, tapi itu tampak terlalu agresif, seolah-olah aku menyukai tindakan eksekusi. Aku tahu aku takkan sanggup membakar sebuah buku yang kusuka. Aku pikir aku mampu membakar salah satu buku karyaku, tapi rupanya terlalu menguras batinku secara psikologis, dan aku punya banyak sekali salinan bukuku yang telah menjadi semacam sebuah komoditas lazim di rumahku, lebih seperti tepung atau tisu kertas ketimbang buku dalam pengertian sesungguhnya. Jadi ketika aku membuat keputusan membakar sebuah buku, aku memillah-milahnya berminggu-minggu, berusaha keras membuat standar apa yang bisa kupakai sebagai pijakan untuk memilih salah satunya. Segalanya keliru. Tatkala aku nyaris menyerah dengan gagasan itu, suamiku memberiku sebuah salinan terbaru Fahrenheit 451, buku karya Ray Bradbury tentang kekuatan menakutkan atas pembakaran buku, dan kutahu buku inilah yang bisa kupakai.

Aku memilih hari yang hangat dan tenang dan mendaki puncak bukit di halaman belakang rumah. Lembah San Fernando terhampar di depanku—segala pucuk pohon dan rumah dan gedung membaur berbintik-bintik; selayang selimut pucat tersulam di sana-sini dengan pijar suar merah, dan di atasnya, di langit biru, sebuah pesawat melintas, menyeret ekornya berjejak busa putih. Aku telah tinggal di Los Angles selama empat tahun. Aku tak pernah berpikir soal kebakaran sebelumnya, tapi kini aku tahu pikiran itu bercabang liar, dan aku harus menyiapkan diri untuk melumat serpihan-serpihan abu dan memadamkan kuncup-kuncup percik api yang melayang-layang.

Aku telah belajar banyak sejak pindah ke Los Angeles. Aku tahu Westside dari Eastside; aku tahu menghindari macet pada malam Oscar; aku tahu isyarat manis dan sanjungan sungguh elok yang bergema pada siapa pun di sini yang meratapi hidupnya bak segulung singkat cerita. Aku bisa membayangkan Harry Peak sekarang karena aku melihatnya setiap hari pada seorang pramusaji tampan yang menyiapkan meja untukku, dan di tempat gym ekstra yang kadang kala kutemui saat ada syuting film di lingkunganku—aku bisa mengenali pose mereka yang serba risau, seakan-akan setiap saat dijalari potensi mengubah seluruh hidup mereka. Aku melihatnya pada setiap orang yang mematut laptop di sebuah kedai kopi, menulis sepotong peran, dan pada gadis-gadis cantik yang memakai terlalu banyak maskara dan cat kuku di toko kelontong. Aku menyukai Los Angeles; aku bahkan menyukai dandanannya, ketamakannya, kedunguannya yang ambisius, ke-Harry-annya, karena berdenyut dengan emosi dan angan-angan dan keputusasaan, tersuguhkan dalam cara paling telanjang.

Tapi kini aku berada di atas bukit untuk membakar sebuah buku, jadi aku berpaling dari lembah dan meletakkan Fahrenheit 451.

Aku menaruh sekendi air, kotak korekapi bergambar ayam jago, dan kertas aluminium tempat aku meletakkan buku. Aku tak yakin apakah buku itu akan terbakar seketika atau api merambat pelan-pelan; merasa sangsi apakah langsung meletup atau aku akan duduk dan menyaksikan api menjilati halaman demi halaman demi halaman. Aku memilih membakar buku bersampul lunak (paperback), meskipun buku itu di perpustakaan bersampul keras (hardcover), karena aku khawatir buku hardcover bakal lama terbakar sehingga tetanggaku bakal melihat asap dan membunyikan alarm. Orang-orang di California bahkan melompat untuk mengurusi api, dan sejujurnya, aku agak takut atas apa yang mungkin terjadi jika api meletup tanpa kendali.

Aku menggores korek pertama dan gagal, jadi aku menyalakan korek kedua, yang meletik sepercik lidah api. Aku menuntunnya ke sampul buku Fahrenheit 451, yang dihiasi gambar geretan. Api meretih bak manik air dari pentol korek menuju sudut sampul. Kemudian menjalar. Berjalan mengarungi sampul buku nyaris seakan menggulungnya, seperti sebuah karpet, tapi ketika tergulung, sampulnya menghilang. Kemudian setiap lembar dalam buku itu terbakar.

Api pertama kali merembet ke sebuah pagina dengan pijar oranye dan pinggiran hitam. Lalu, dalam sekejap, percik oranye-hitam itu menyebar ke seluruh halaman, dan pagina itu lenyap—pembakaran nyaris seketika—dan seluruh buku itu terlumat dalam beberapa detik. Terjadi begitu cepat seakan-akan buku itu meledak; buku itu ada sana dan kemudian dalam sekejap hangus dan sementara hari masih hangat, langit masih biru, aku tak bergeser sedikit pun, kertas aluminium itu mengilap dan kosong kecuali remah-remah hitam berserak di atasnya.

Tiada apa pun yang tersisa, tiada jejak apa pun yang menyerupai sebuah buku, sekeping cerita, selembar halaman, sepetik ide.

Aku diberitahu bahwa api besar itu nyalang, garang, berangin, mengerang. Yang ini, sebaliknya, terjadi nyaris tanpa suara, hanya terdengar udara lembut berembus, lebih seperti berdesing, tatkala buku itu terbakar. Lembar demi lembar meranggas begitu cepat hingga nyaris meretih; suaranya lembut, seperti desis, atau seperti suara percik air dari pancuran.

Segera setelahnya, aku merasa seakan melompat dari pesawat, mungkin suatu reaksi alamiah atas perbuatan yang kutentang begitu kuat—ada rasa terpesona membetot naluriku sendiri, rasa girang betapa cantiknya nyalang api, dan rasa takut mengerikan pada daya tariknya dan kesadaran betapa cepat sehimpun wujud yang pepak kisah-kisah manusia dapat dibuat lenyap seketika.*

____

Susan Orlean, staf penulis The New Yorker, menulis banyak sekali buku; salah duanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: The Orchid Thief, 1998 (Pencuri Anggrek, Penerbit Banana, 2007); Rin Tin Tin: The Life and the Legend, 2011 (Rin Tin Tin – Kisah Hidup Seekor Anjing, Ufuk Press, 2012)

Menerabas Jalan Buntu: Bagaimana David Grann menulis Kisah Epik “The White Darkness”

Ketika sang pengarang bertarung dari badai es dalam dirinya untuk menuturkan hikayat penjelajahan dan tragedi penaklukan modern.

Tautan artikel orisinal | oleh Steve Oney

Henry-Worsley2
Photo by antantarctic/Shutterstock

KALIMAT pembuka itu menghardik David Grann setahun sebelum ia merampungkan cerita epiknya dan setahun setelah peristiwanya sendiri dilukiskan:

Pria itu merasa serupa sebuah noktah yang hanyut dalam padang beku yang hampa. Tiap langkah yang ia tuju semata hamparan es merentang ke sudut Bumi: es putih dan es biru, bibir sungai es dan bilah-bilah es curam. Sejarak mata memandang tiada makhluk bernyawa satu pun. Tak ada beruang dan bahkan seekor burung. Tiada apa pun selain dia.

Februari 2017, Grann tengah menyusuri jalanan London sesudah menghabiskan beberapa hari memilukan saat berbincang dengan janda, anak-anak, teman dan karib dekat Henry Worsley, pensiunan perwira Inggris berusia 55 tahun, yang tewas selagi menantang maut: berjalan kaki sendirian dan tanpa bantuan (ia harus menyeret perbekalan dengan sebuah kereta luncur), dari satu sisi Antartika ke sisi lain—bentang alam buas berjarak lebih dari 1.610 kilometer. (Sebagai perbandingan: Jarak Jakarta ke Surabaya sekitar 770 km.)

“Saya ingin merumuskan jantung pertanyaan mengenai kehidupan Worsley,” ujar Grann menjelaskan pengalamannya menyusun kalimat pembuka atas kisah yang kemudian berjudul “The White Darkness,” artikel sepanjang 21.000 kata yang terbit di The New Yorker bulan lalu.

“Apa yang menghambat tekad manusia saat menghadapi rintangan tak tertaklukkan? Kita semua menghadapi pertanyaan itu.”

Begitulah, segelintir dari banyak keganjilan saat menyuguhkan dilema pokok Worsley, Grann menyoroti kondisi universal. Mengutip novelis Thomas Pynchon, sebagaimana disajikan “The White Darkness”: “Kita semua memiliki Antartika dalam diri kita”—suatu tempat yang melabuhkan kita menyibak pencarian atas jati diri kita.

Pertemuan Grann dengan keluarga dan sejawat Worsley jauh setelahnya. Grann, yang menulis The Lost City of Z—kisah lain tentang obsesi manusia dalam penaklukan—mengirim surel ke janda si penjelajah sesudah ia membaca obituari di koran Inggris dan berpikir: Ini bakal jadi cerita yang menakjubkan. Tapi respons yang ia terima: Tak ada yang mau bicara.

Grann kecewa. Tapi ia adalah penulis yang tak gampang puas diri. Buku ketiganya, Killers of the Flower Moon, terbit beberapa bulan lalu, dan promosi atas buku itu telah berjalan. Ia kembali ke rutinitasnya: melakukan reportase untuk The New Yorker mengenai sepasang pengacara California yang amoral menuduh seorang ibu dari Perhimpunan Orangtua-Guru (PTA) menggunakan narkoba.

Tapi, usai liputan beberapa waktu, kisah kriminal itu berantakan: Christopher Goffard dari LA Times telah menggali semuanya. Grann akhirnya memutuskan kembali ke ide kisah Worsley. Kali ini ia menerima jawaban yang meyakinkan dan segera terbang ke Inggris. Tiada persiapan sebelumnya bahwa pertemuan pertamanya dengan keluarga Worsley berjalan sangat emosional.

“Saya menulis banyak orang yang melakukan perbuatan sinting,” ujar Grann, yang buku keduanya, The Devil and Sherlock Holmes, merupakan galeri para penipu dan pembunuh ulung. “Ketika berusaha merekam kisah hidup mereka, saya berusaha memahami mereka. Tapi dengan Henry dan setiap orang yang berhubungan dekat dengannya, ada perkara yang lebih dari sekadar pemahaman. Tumbuh perasaan peduli saya. Sebuah hubungan emosional. Saya merasakan tragedi, dukacita. Reporter diharuskan tidak memihak, tetapi ada saatnya lebih baik perasaanmu dibiarkan berkembang.”

Kisah itu berkembang menjadi tak cuma sebuah cerita—ini adalah warisan, lengkap dengan segudang koleksi pribadi Worsley dan tulisan tangan Joanna, janda sang penjelajah, yang tersuguhkan untuk Grann. “Ia mengizinkan saya membaca buku tulis dan diari Henry, dan mendengarkan rekaman suara dari ekspedisi tersebut.”

Buku harian itu, terutama dari jenis buku saku Inggris, berisi fragmen puisi dan prosa yang ditulis Worsley selama bertahun-tahun dalam upayanya menangkap dan menyimpan perasaan terdalam. Ia mengutip baris-baris kalimat dari Kipling hingga Lance Armstrong. Worsley meyakini kekuatan tekad dan mengumpulkan semboyan. Di antaranya: “Dengan ketahanan, kita mampu menaklukkan” atau “Senantiasa menyongsong langkah ke depan.”

Catatan harian Worsley bahkan sangat bermanfaat. “Di satu halaman ia mencatat garis bujur, garis lintang, suhu, dan jarak kilometer demi kilometer selama ekspedisi Antartika,” ujar Grann. “Di halaman lain ia melukiskan lebih banyak kisah personal. Rangkaian tulisan tangan yang kasar, yang mencatat peristiwa yang dialaminya. Ia menggambarkan bagaimana rasanya pergi ke toilet dalam cuaca yang sangat dingin.”

“Ini jenis informasi yang kelak memuluskan tulisanmu. Catatan rinci kehidupannya selagi ia terus menantang dirinya menerabas rintangan,” ujar Grann.

Dengan sumber yang begitu kaya, Grann mengajukan ide tulisan itu ke Daniel Zalewski, editornya di The New Yorker, dan menerima balasan bahwa artikel tak boleh lebih dari 8.000 kata—yang nyatanya sulit bagi Grann. “Saya yang terburuk,” ujarnya. “Saya selalu berkata ceritanya akan lebih ringkas tapi ternyata sepanjang itu, selalu delapan kali lebih panjang dan delapan kali lebih lama.”

Masalah utama yang dihadapi Grann saat menulis “The White Darkness” adalah topiknya terlalu rumit. Tak cuma ia ingin membangun adegan demi adegan perjalanan fatal Worsley tahun 2016, tapi juga ia ingin mengisahkan detail demi detail kisah sukses grup penjelajah yang dipimpin Worsley pada 2009, pencapaian yang gagal dilakukan Sir Ernest Shackleton dalam ekspedisinya tahun 1914.

Shackleton adalah sumber inspirasi Worsley. Faktanya, Henry Worsley adalah kerabat jauh Frank Worsley, kapten kapal Shackleton, Endurance. Henry terpacu bahwa misinya adalah menuntaskan ekspedisi Shackleton. Bagi Grann, narasi yang tumpang-tindih (kisah antara Worsley dan Shackleton) memberinya kesempatan untuk menangkap tragedi modern dan pendahulunya di era Edwardian sekaligus mengajak pembaca untuk merenungkan apa makna dari penjelajahan tersebut.

(Dalam satu paragraf, Grann menulis: Henry Worsley membaca segala hal yang terkait tentang Shackleton dan para penjelajah kutub Bumi. Ia gembira ketika mengetahui bahwa Frank Worsley, seorang orang kepercayaan dari salah satu ekspedisi Shackleton, adalah kerabat jauhnya, dan menulis memoar menggentarkan yang ia gambarkan menantang “serangkaian badai, angin, dan topan salju tanpa kenal rasa takut.”)

“Setiap cerita memiliki tantangannya sendiri,” ujar Grann, “tapi di tengah jalan, saya menghadapi jalan buntu. Sangatlah susah menggabungkan begitu banyak informasi. Saya harus memahami hubungan antara Henry dan Shackleton. Saya harus memahami geografi Antartika. Masalahnya, saya tak pernah ke sana. Saya tak pernah menulis tentang sebuah tempat yang belum saya kunjungi. Ketika saya menulis ‘The Lost City of Z,’ saya pergi ke Amazon.”

Editornya, Zalewski, menggenapkan kecemasan draf pertama karangannya. “Daniel berkata, ‘Saya tak merasakan tempat yang kau tulis.’”

Karena itulah Grann kembali bekerja, dan mencurahkan waktu untuk belajar mengenal Antartika. “Tempat itu sangat asing bagiku. Apa yang tidak saya pahami adalah Antartika sebenarnya padang sunyi.”

Daya dobrak Grann memungkinkannya melihat lanskap alam tersebut, yang gilirannya memandu dia memasuki bagian cerita yang paling dramatis—upaya Worsley yang tersesat dan berusaha mendaki dan menuruni puncak es tanpa kenal ampun dan keputusannya, 175,4 km lebih pendek dari tujuannya, hanya untuk mengakui kegagalan dan akhirnya memanggil ambulans udara. Worsley meninggal terserang radang selaput paru (peritonitis) di rumah sakit.

“Bagian terakhir,” ujar sang pengarang, “saya menulisnya dengan cepat.”

Penggarapannya yang lama rupanya menuai berkah yang tak disangka-sangka. Sebelum ia merampungkan naskahnya, Joanna Worsley dan anak mereka (Max dan Alicia) terbang ke Antartika untuk menabur abu suami dan ayah mereka. Kunjungan itu memberi Grann sebuah penutup yang solid, jalan membawa pulang hidup kehidupan manusia dari pemburuannya atas sang tokoh utama.

Meski nyaris tiga kali lebih panjang dari yang semula ditugaskan, artikelnya nyaris tak mendapatkan banyak penyuntingan. “Saya mengira-ngira seberapa panjang nanti yang ditayangkan,” ujar Grann. “Rupanya tak banyak yang dipotong.”

Bagian terbaik dari narasinya—berkat akses penulis ke catatan yang cermat ditulis Worsley—tak cuma menggambarkan sang penjelajah bergulat dengan lanskap alam yang brutal, melainkan juga mengajak pembaca menyelami kegelisahannya yang terdalam. Tingkat keintiman sang penulis dengan subjek ceritanya menyuguhkan sebuah jurnalisme dengan kualitas yang sangat tinggi, tetapi juga membuat sang pengarang khawatir apakah penulis di masa depan akan seberuntung dia.

“Saya menyesal kita hidup di dunia tanpa dokumen dan tulisan tangan,” ia berkata. “Saya takkan menyelesaikan kisah ini tanpa buku tulis dan diari Henry. Media sosial bersifat sementara. Cuma titik kecil dan lenyap dengan cepat. Dengan Henry, saya memiliki barang fisik yang seutuhnya. Karena itulah saya bisa merekonstruksi keseharian dan pikirannya dengan sudut pandang yang begitu istimewa, yang semakin sulit dipahami dalam pelaporan. Tak peduli seberapa penting kisah yang kamu tuturkan, kamu takkan cakap menuliskannya ketika tak ada catatan.”*

__________________

Catatan: David Grann, staf penulis untuk The New Yorker sejak 2003. Pengarang The Lost City of Z: A Tale of Deadly Obsession in the Amazon (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia). Buku terbarunya, Killers of the Flower Moon: The Osage Murders and the Birth of the FBI, menjadi finalis National Book Award 2017.

Ziarah

Mbak tanya sebulan lalu: Apakah kamu akan pulang? 

Sesungguhnya, ia mengingatkan: kita akan merayakan 3 tahun Emak. Saudara-saudara akan berkumpul. Oh ya, dia bilang, jangan sampai lewat pas tahlil di hari itu.

Sesungguhnya, aku tak menyadarinya sama sekali sampai Mbak mengingatkan.

Lalu, peristiwa itu merayap. Lantas membulat. 2 Desember 2015, suara dari ujung telepon yang sangat kukenali berkata dengan cara orang mengabarkan kematian: Emak sudah tiada; kami menunggumu.

Itu adalah perjalanan terpanjang dalam sehari. Naik bus melewati separuh Pulau Jawa (sampai kini aku masih berpikir: kenapa enggak naik kereta? Kenapa harus perlu drama?), turun di sebuah kota yang asing, pindah ke bus lain, dan berlanjut naik ojek pada dini hari di bawah langit gerimis tanpa helm, sempat terlewat sampai di satu jalan sepi dekat kuburan, dan berbalik arah dan menemukan jalan pulang. Seakan-akan, bila diringkas perjalanan ini, saya tengah mengenang masa remaja dan dewasaku dalam hubungan jauh-dekat-dengan-rumah.

Saya tiba persis ketika sebagian orang sudah terlelap, sebagian lagi masih mengobrol dengan suara dipelankan, dan saudaraku mengaji dan saudaraku yang lain tersedu, dan yang melantunkan Yasin dan yang menangis tiada bedanya.

Tiga tahun kemudian, saya tak pernah bermimpi tentang Emak.

Apakah Emak sangat jauh dari orbit kehidupan saya sekarang? Apakah ia cuma masa lalu? Ia adalah Matriark. Ia adalah Pengurus dan Pelaksana Rumah Tangga. Ia adalah Ibu.

Kemarin, dalam usianya yang sudah abadi, sementara anak-anaknya makin menua, dan Bapak pun makin mengerut, Emak tertutup dan tenggelam dalam gelombang tanaman rambat. Kami menyadari perkara alpa yang semula akan kami bawa dari rumah: cangkul dan golok.

Maka, dengan tangan kosong, rumput-rumput liar di atas tubuh Emak dicabut. Lalu air kembang disiram ke atasnya. Dan tangan si Hidup mengusap nisan si Mati, dengan cara seorang anak menghormati ibubumi.

Kita akan tunggu setahun lagi, baru bisa kita pugar dengan keramik, kata saudaraku. Sementara ini, saudaraku yang lain melanjutkan, kita tinggikan lagi undukan tanahnya. 

Biar terlihat, dia meneruskan.

Saya kangen Emak yang terlihat!

Mari berkenalan dengan Pamela Colloff, penulis yang bagusnya brengsek banget di Texas

“Tak banyak penulis unik seperti Pam setiap hari. Dalam segala aspek di bisnis ini, ia seperti unicorn—diburu oleh chupacabra, dimakan oleh Bigfoot.”

oleh Lyz Lenz | 24 Februari 2017 | Columbia Journalism Review.

 

Pamela Colloff
©Jeff Wilson

 

PAMELA COLLOFF, yang baru lulus dan enggak punya kerjaan, pergi dari New York bareng temannya, Margaret Brown, pada 1994 dengan Volvo butut tanpa tujuan pasti. Mereka bokek dan pengin mengisi hidup sepenuhnya dengan petualangan dan seni. Pada akhirnya mereka berkelana ke Austin, Texas—negara bagian AS di kawasan tengah-selatan dan berbatasan dengan Meksiko.

Rencananya, mereka di sana cuma sebentar, tetapi Colloff malah enggak pengin cabut. Sewa rumah di sana murah, cuma 300 dolar AS sebulan, dan kondisi ini bikin ia punya waktu menulis.

Dan ada perihal lain: Texas bikin hatinya kepincut.

“Habis aku tiba ke sini, aku selalu punya banyak ide. Kupikir karena ini berbeda dan segalanya serba baru, aku jadi punya banyak ide menulis,” ujarnya.

Di sinilah, di rumah yang serba kebetulan, di luar pusat media tradisional di Amerika, Colloff menemukan panggilannya dan membangun sebuah dinasti.

Direkrut oleh Texas Monthly sebagai penulis pada 1997, ia kini menjadi redaktur eksekutif dan salah satu arsitek yang memimpin majalah tersebut menata reputasi nasional dalam laporan kriminal mendalam dan feature panjang. Di sebuah era yang menuntut serba tergesa-gesa, ketekunannya dalam investigasi, wawancara, dan menyingkap karakter membuatnya diganjar enam nominasi Anugerah Majalah Nasional (National Magazine Awards), lebih dari penulis perempuan dalam sejarah penghargaan tersebut (ia menang satu kali).

(lebih…)

Sang Pengoceh, Mario Vargas Llosa

https://www.instagram.com/p/BMcCql7geG9/?taken-by=fahrisalam

MENAMATKAN Sang Pengoceh, novel Vargas Llosa terjemahan Ronny Agustinus terbitan OAK. Merasa asyik pas sepertiga akhir. Bab terbaik saat penyingkapan ketika si pengoceh, seorang mahasiswa dengan riwayat keluarga Yahudi (bangsa pengelana), pergi ke hutan Amazon di masa “generasi bunga”, lalu terpikat pada satu suku di sana, bergumul dengan mereka, menjadi pendengar, dan menjalani perilaku khas dari suku tersebut yang meninggalkan apa yang kita sebut “kediaman yang tetap”; komunitas kecil yang marjinal ini terus berjalan, nomaden, sebab jika berdiam terlampau lama, matahari akan jatuh, terjadilah kekacauan, bencana, sebuah kiamat. Vargas Llosa membangun dua jalur cerita, selang-seling, yang pertama bab si ‘aku’—katakanlah Vargas Llosa sendiri—yang penasaran pada Saúl Zuratas, si mahasiswa etnologi itu yang jadi karibnya di kampus, atas sebab-sebab ia mengalami “pencerahan” atau “kelahiran baru” dari orang kota menjadi “mualaf Machiguenga, dan lantas jadi pengoceh.” Cerita kedua soal kisah Machiguenga sendiri, menuturkan kosmos dan kebudayaan mereka, dongeng, bualan, fiksi, gosip, dan lelucon mereka. Ada pertaruhan: dua narator yang harus berbeda—dan kita mendapatinya. Narator Vargas Llosa sangat tertata bahasanya; narator soal dongeng Machiguenga berisi seperti racauan, igauan, atau seperti judul novelnya: mengoceh tiada henti. Dalam keluarga-keluarga kecil Machiguenga yang berdiaspora di hutan Amazonia, peran si pengoceh menjadi sentral dari kosmos kehidupan mereka sebagai pengabar, mengikat dan menata jati diri plus perasaan manunggal akan komunitas senasib-sepenanggungan yang tercerai-berai.

Apa yang bikin novel ini mendatangkan banyak kajian adalah komentar-komentar politiknya soal peran keilmuan yang membawa misi “pengetahuan” sekaligus relasi parasitnya terhadap subjek riset yang seringkali membawa misi “pembaratan.” Saúl adalah pribadi yang secara intelektual menentang kampusnya (dan di belakangnya proyek-proyek kajian) untuk menundukkan Machiguenga dengan dalih “pemberadaban” untuk berdiam di satu tempat, tidak lagi berpencar, sebab secara inheren melawan jagat moral dan mitos suku tersebut. Apa yang terjadi pada mereka, sebagaimana komunitas-komunitas lain yang mendiami Amazonia, yang kita baca dari literatur-literatur soal lingkungan, adalah perkembangan keterdesakan yang meminggirkan, mula-mula lewat penaklukan pasukan Inca, lalu penjelajah, kaum misionaris dan bangsa Spanyol, cukong-cukong komoditas hutan, dan demam emas. Disusul kemudian penetrasi dari maskapai-maskapai pertambangan multinasional, perdagangan kokain, lalu pemberontakan (kaum gerilyawan dan atau narko-gerilyawan), dan apa yang belakangan jadi nomenklatur politik global: terorisme dan kontra-terorisme. Secara tidak langsung, saya teringat atas apa yang terjadi pada komunitas suku di Jambi, di Borneo, atau bangsa Papua di Papua Barat, dan komunitas-komunitas lebih kecil di hutan-hutan di Jawa. Novel ini, dengan sendirinya, menantang secara pemikiran.

Vargas Llosa juga memakai pendekatan analogi, dunia paralel, atas dunia minor Saúl dan dunia bangsanya. Mesin analogi ini bekerja dengan membandingkan, atau menautkan, nasib komunitas Machiguenga dan bangsa Yahudi (dalam istilah di novel ini “Yahwe-Tasurinchi”) yang terus berjalan, berpindah-pindah, berpencar ke seluruh dunia, memanggul nasib sebagai orang dan masyarakat yang kerap disalahkan, dikambinghitamkan, biang keladi dan mendapat cap pelbagai stigma, apabila terjadi kemalangan, bencana, atas nasib buruk orang lain. (Dalam kasus di Indonesia dijatuhkan pada “orang Tionghoa” dan “PKI”.) Paralelisme lain adalah sosok Saúl Zuratas sendiri, yang punya tanda lahir berupa tompel besar di sebagian wajahnya, sehingga dipanggil “Mascarita” (Muka Tompel), yang membuatnya “jadi marjinal di antara yang marjinal,” terus disepelekan dan diejek oleh “orang dan masyarakat normal”, betapapun Saúl adalah pribadi yang pasivis dan panjang akal. Noda ungu tua raksasa ini, bagi Saúl yang meyakini satu-satunya pahlawan literatur di dunia adalah Franz Kafka, dibandingkan sebagaimana nasib Gregor Samsa yang mendadak, ketika bangun di satu pagi, menjadi seekor serangga raksasa. Kisah Saúl karena tompelnya ini (dalam novel disebut “Gregor-Tasurinchi”), yang bikin ia dikucilkan dan bikin malu orang dan perasaan rendah diri yang menggerogoti jiwanya, disebut sebagai “kesurupan jelek,” sebelum kemudian ia pelan-pelan mengatasinya (atau sadar dari kesurupan) dan bahkan ia bisa membuat lelucon atasnya.

Usai menamatkan, dan mengantongi motif cerita yang sudah agak dikenali, saya membuka lagi bab awal novel Sang Pengoceh, dengan membawa pertanyaan: Apa arti tompel dari sebagian muka Saúl untuk kita, sebagai warga negara-bangsa, yang dari seorang pribadi tak sempurna ini pada akhirnya bikin dia, secara transformatif, menanggalkan kehidupan lamanya, menutupi jejak masa lalunya, dan lantas menjadi sosok yang sepenuhnya baru sebagai si pengoceh?

Saya teringat perjalanan-perjalanan singkat saya di luar Jawa, tetapi yang terus saya ingat adalah perjalanan pertama saya ke selatan Papua, tiga atau empat tahun lalu. Di sana saya bertemu dengan orang-orang dari keluarga-keluarga yang meninggalkan kampungnya, untuk “turun ke Merauke” ketika tanah-tanah mereka, yang semula hanya dikenali lewat kepemilikan bersama dengan patokan faam, dipaksa untuk dicacah, dibelah-belah, diberi garis batas oleh “orang-orang perusahaan” yang membawa kantong-kantong uang, dan tanah-tanah itu diambil sebagai lahan-lahan perkebunan dan pertanian raksasa demi apa yang disebut oleh janji pemerintah Indonesia saat itu “lumbung pangan, yang akan memberi makan rakyat Indonesia, kemudian dunia.” Bagaimana nasib para faam ini sekarang? Satu sore itu, ketika saya mengobrol dengan para bapak di halaman rumah tempat mereka menumpang sementara di kota Merauke, meninggalkan istri dan anak, untuk menuntut hak tanah (dan konsesi uang yang dibayar tidak sesuai janji), mengisahkan bagaimana “orang-orang perusahaan” ini, dengan bahasa yang terdengar rapi dan santun, berkata muluk-muluk hanya untuk akhirnya mendapati mereka mewakili “abu nawas tinggi”: sang penipu ulung.

Dalam kehidupan kita, barangkali, sejak lahir kita membawa “tompel Saúl”: pertanyaan yang mengusik secara moral maupun posisi dan pandangan politik kita terhadap peran kita secara tidak langsung telah mengusir dan meminggirkan “suku-suku adat” di sepanjang hutan-hutan dunia. Peran yang sama, barangkali, ketika kita melihat kemelaratan yang mencolok, pemiskinan luar biasa, tapi kita tidak tahu harus berbuat apa, atau kalaupun bisa bertindak, efek dan jangkauannya sangat terbatas.

Dalam novel Sang Pengoceh, sang seripigari—seorang tabib—berkata kepada Saúl: “Lahir dengan wajah sepertimu bukanlah kejahatan terburuk; kejahatan terburuk adalah tidak menyadari kewajiban.”●