Kategori: Komentar

Sang Pengoceh, Mario Vargas Llosa

https://www.instagram.com/p/BMcCql7geG9/?taken-by=fahrisalam

MENAMATKAN Sang Pengoceh, novel Vargas Llosa terjemahan Ronny Agustinus terbitan OAK. Merasa asyik pas sepertiga akhir. Bab terbaik saat penyingkapan ketika si pengoceh, seorang mahasiswa dengan riwayat keluarga Yahudi (bangsa pengelana), pergi ke hutan Amazon di masa “generasi bunga”, lalu terpikat pada satu suku di sana, bergumul dengan mereka, menjadi pendengar, dan menjalani perilaku khas dari suku tersebut yang meninggalkan apa yang kita sebut “kediaman yang tetap”; komunitas kecil yang marjinal ini terus berjalan, nomaden, sebab jika berdiam terlampau lama, matahari akan jatuh, terjadilah kekacauan, bencana, sebuah kiamat. Vargas Llosa membangun dua jalur cerita, selang-seling, yang pertama bab si ‘aku’—katakanlah Vargas Llosa sendiri—yang penasaran pada Saúl Zuratas, si mahasiswa etnologi itu yang jadi karibnya di kampus, atas sebab-sebab ia mengalami “pencerahan” atau “kelahiran baru” dari orang kota menjadi “mualaf Machiguenga, dan lantas jadi pengoceh.” Cerita kedua soal kisah Machiguenga sendiri, menuturkan kosmos dan kebudayaan mereka, dongeng, bualan, fiksi, gosip, dan lelucon mereka. Ada pertaruhan: dua narator yang harus berbeda—dan kita mendapatinya. Narator Vargas Llosa sangat tertata bahasanya; narator soal dongeng Machiguenga berisi seperti racauan, igauan, atau seperti judul novelnya: mengoceh tiada henti. Dalam keluarga-keluarga kecil Machiguenga yang berdiaspora di hutan Amazonia, peran si pengoceh menjadi sentral dari kosmos kehidupan mereka sebagai pengabar, mengikat dan menata jati diri plus perasaan manunggal akan komunitas senasib-sepenanggungan yang tercerai-berai.

Apa yang bikin novel ini mendatangkan banyak kajian adalah komentar-komentar politiknya soal peran keilmuan yang membawa misi “pengetahuan” sekaligus relasi parasitnya terhadap subjek riset yang seringkali membawa misi “pembaratan.” Saúl adalah pribadi yang secara intelektual menentang kampusnya (dan di belakangnya proyek-proyek kajian) untuk menundukkan Machiguenga dengan dalih “pemberadaban” untuk berdiam di satu tempat, tidak lagi berpencar, sebab secara inheren melawan jagat moral dan mitos suku tersebut. Apa yang terjadi pada mereka, sebagaimana komunitas-komunitas lain yang mendiami Amazonia, yang kita baca dari literatur-literatur soal lingkungan, adalah perkembangan keterdesakan yang meminggirkan, mula-mula lewat penaklukan pasukan Inca, lalu penjelajah, kaum misionaris dan bangsa Spanyol, cukong-cukong komoditas hutan, dan demam emas. Disusul kemudian penetrasi dari maskapai-maskapai pertambangan multinasional, perdagangan kokain, lalu pemberontakan (kaum gerilyawan dan atau narko-gerilyawan), dan apa yang belakangan jadi nomenklatur politik global: terorisme dan kontra-terorisme. Secara tidak langsung, saya teringat atas apa yang terjadi pada komunitas suku di Jambi, di Borneo, atau bangsa Papua di Papua Barat, dan komunitas-komunitas lebih kecil di hutan-hutan di Jawa. Novel ini, dengan sendirinya, menantang secara pemikiran.

Vargas Llosa juga memakai pendekatan analogi, dunia paralel, atas dunia minor Saúl dan dunia bangsanya. Mesin analogi ini bekerja dengan membandingkan, atau menautkan, nasib komunitas Machiguenga dan bangsa Yahudi (dalam istilah di novel ini “Yahwe-Tasurinchi”) yang terus berjalan, berpindah-pindah, berpencar ke seluruh dunia, memanggul nasib sebagai orang dan masyarakat yang kerap disalahkan, dikambinghitamkan, biang keladi dan mendapat cap pelbagai stigma, apabila terjadi kemalangan, bencana, atas nasib buruk orang lain. (Dalam kasus di Indonesia dijatuhkan pada “orang Tionghoa” dan “PKI”.) Paralelisme lain adalah sosok Saúl Zuratas sendiri, yang punya tanda lahir berupa tompel besar di sebagian wajahnya, sehingga dipanggil “Mascarita” (Muka Tompel), yang membuatnya “jadi marjinal di antara yang marjinal,” terus disepelekan dan diejek oleh “orang dan masyarakat normal”, betapapun Saúl adalah pribadi yang pasivis dan panjang akal. Noda ungu tua raksasa ini, bagi Saúl yang meyakini satu-satunya pahlawan literatur di dunia adalah Franz Kafka, dibandingkan sebagaimana nasib Gregor Samsa yang mendadak, ketika bangun di satu pagi, menjadi seekor serangga raksasa. Kisah Saúl karena tompelnya ini (dalam novel disebut “Gregor-Tasurinchi”), yang bikin ia dikucilkan dan bikin malu orang dan perasaan rendah diri yang menggerogoti jiwanya, disebut sebagai “kesurupan jelek,” sebelum kemudian ia pelan-pelan mengatasinya (atau sadar dari kesurupan) dan bahkan ia bisa membuat lelucon atasnya.

Usai menamatkan, dan mengantongi motif cerita yang sudah agak dikenali, saya membuka lagi bab awal novel Sang Pengoceh, dengan membawa pertanyaan: Apa arti tompel dari sebagian muka Saúl untuk kita, sebagai warga negara-bangsa, yang dari seorang pribadi tak sempurna ini pada akhirnya bikin dia, secara transformatif, menanggalkan kehidupan lamanya, menutupi jejak masa lalunya, dan lantas menjadi sosok yang sepenuhnya baru sebagai si pengoceh?

Saya teringat perjalanan-perjalanan singkat saya di luar Jawa, tetapi yang terus saya ingat adalah perjalanan pertama saya ke selatan Papua, tiga atau empat tahun lalu. Di sana saya bertemu dengan orang-orang dari keluarga-keluarga yang meninggalkan kampungnya, untuk “turun ke Merauke” ketika tanah-tanah mereka, yang semula hanya dikenali lewat kepemilikan bersama dengan patokan faam, dipaksa untuk dicacah, dibelah-belah, diberi garis batas oleh “orang-orang perusahaan” yang membawa kantong-kantong uang, dan tanah-tanah itu diambil sebagai lahan-lahan perkebunan dan pertanian raksasa demi apa yang disebut oleh janji pemerintah Indonesia saat itu “lumbung pangan, yang akan memberi makan rakyat Indonesia, kemudian dunia.” Bagaimana nasib para faam ini sekarang? Satu sore itu, ketika saya mengobrol dengan para bapak di halaman rumah tempat mereka menumpang sementara di kota Merauke, meninggalkan istri dan anak, untuk menuntut hak tanah (dan konsesi uang yang dibayar tidak sesuai janji), mengisahkan bagaimana “orang-orang perusahaan” ini, dengan bahasa yang terdengar rapi dan santun, berkata muluk-muluk hanya untuk akhirnya mendapati mereka mewakili “abu nawas tinggi”: sang penipu ulung.

Dalam kehidupan kita, barangkali, sejak lahir kita membawa “tompel Saúl”: pertanyaan yang mengusik secara moral maupun posisi dan pandangan politik kita terhadap peran kita secara tidak langsung telah mengusir dan meminggirkan “suku-suku adat” di sepanjang hutan-hutan dunia. Peran yang sama, barangkali, ketika kita melihat kemelaratan yang mencolok, pemiskinan luar biasa, tapi kita tidak tahu harus berbuat apa, atau kalaupun bisa bertindak, efek dan jangkauannya sangat terbatas.

Dalam novel Sang Pengoceh, sang seripigari—seorang tabib—berkata kepada Saúl: “Lahir dengan wajah sepertimu bukanlah kejahatan terburuk; kejahatan terburuk adalah tidak menyadari kewajiban.”●

Dilema Ivan Ilyich

Kemajuan sains melambari proses penuaan dan sekarat ke dalam pelukan pengalaman medis.
ATUL GAWANDE
dolgados-cartoon-on-medicine
©2011 Roy Dolgado. Sumber kartun di sini

SAYA belajar banyak hal di sekolah medis, tapi kematian tidak. Meski saya disuguhkan mayat kasar dan kesat untuk dibedah di masa pendidikan perdana, hal ini semata demi mempelajari anatomi tubuh manusia. Buku pelajaran kuliah kami nyaris kosong mengenai kondisi penuaan atau kepikunan atau sekarat. Mereka agaknya mengesampingkan soal proses kematian tersingkap, pengalaman orang menjelang sakratul maut, dan bagaimana hal itu mempengaruhi orang-orang di dekatnya. Cara kami melihat kematian, begitu pula cara profesor kami melihatnya, dan tujuan pendidikan medis dikembangkan adalah demi menyelamatkan nyawa, bukan bagaimana merawat orang yang sekarat.

Kesempatan sekali yang saya ingat ketika membahas kematian sewaktu kami mendiskusikan selama satu jam Kematian Ivan Ilyich, novelet klasik Tolstoy. Itu berlangsung saat seminar mingguan dengan tema Pasien-Dokter—satu rangkaian dari upaya kampus agar kami lebih bertekad menjadi dokter sekaligus lebih manusiawi. Beberapa pekan kami akan memperagakan etiket menangani pasien; di pekan lain kami mempelajari imbas sosio-ekonomi dan politik pada kesehatan. Dan pada satu petang kami diajak merenungkan penderitaan Ivan Ilyich yang terbaring sakit dan kian merosot akibat sejumlah penyakit tak dikenali dan mustahil diobati.

Dalam cerita itu, Ivan Ilyich berusia 45 tahun, seorang hakim tingkat madya Saint Petersburg yang kehidupannya lebih banyak berkisar mengurusi hal remeh dan status sosial. Satu hari dia jatuh dari anaktangga dan mengalami nyeri di pinggang. Bukannya berkurang rasa sakit itu malah tambah parah dan dia tak sanggup bekerja. Semula dikenal “pria yang cerdas, bertutur kata halus, giat, dan ramah,” kini dia jadi pria pemurung dan melas. Teman dan rekannya menghindarinya. Istrinya sudah gonta-ganti dokter dengan ongkos yang tambah mahal untuk mengobatinya, dan mereka tak mampu mendiagnosis penyakitnya, serta bermacam obat yang diberikan tak bisa menyembuhkannya. Bagi Ilyich, situasi itu menyiksa, dan dia bertambah gusar dan marah. (lebih…)

Saran bagi Editor

HUBUNGAN PENULIS DAN EDITOR bisa berbuntut jadi relasi yang peka. Penulis mungkin menganggap editor sebagai orang yang gemar mencari-cari kesalahan, memeriksa secara detail dari perkara remeh seperti ejaan, kendati yang lebih penting adalah memelototi logika bahasa, struktur cerita, dan lebih utuh lagi: gagasan yang disampaikan penulis apakah solid atau lemah. Sementara editor mungkin saja melihat penulis sebagai primadona. Keduanya, bila sama-sama enggak rapi menanganinya, bisa meruncing jadi tekanan yang bikin frustrasi, dan gilirannya kemungkinan: 1. naskah bakal kelar lama; 2. mereka saling memendam rasa sengit; 3. ketidaksabaran menghancurkan orisinalitas; 4. kombinasi 2 dan 3 membuat kemungkinan ke-5: naskah akhir menjadi lebih buruk dari naskah awalnya.

(lebih…)

Rumah Kertas, Carlos María Domínguez

MEMBACA Rumah Kertas adalah membayangkan kawasan Amerika Latin sebagai imajinasi politik, dan nilai penting novel ini terletak pada metafora yang kental dengan ironi. Sebagai pembaca manasuka atas karya pengarang dari Selatan, dan sumbangsihnya berkat karya-karya terjemahan Ronny Agustinus lewat penerbitnya (Marjin Kiri) maupun blognya (‘Sastra Alibi‘), Rumah Kertas adalah penjelajahan yang mempercakapkan buku dengan buku, suatu perjumpaan (antar-entitas bubur kayu lunak) yang menyiratkan apa yang ditulis pengarangnya sebagai usaha “… melacak peta sastra Amerika Latin dalam perjalanannya melalui Eropa,” namun akhirnya menemukan “ambisi yang tampak pretensius dibandingkan perjalanan yang ditempuh buku-buku itu sendiri.” Inilah, ujar si tokoh, “temuanku sekaligus kegagalanku.”

María Domínguez begitu percaya diri membangun sebuah kisah dalam novel tipis (hanya 76 halaman) lewat isyarat buku karangan Joseph Conrad, dan kalimat pembuka novelnya, tentang penggandrung buku yang tewas ditabrak di jalan raya karena sedang menyuntuki baris puisi dari penyair kesukaannya, memberi jalan lepas pada sebuah kisah detektif sekaligus bukan, justru karena kisahnya bukanlah pada kematian itu melainkan jalinan labirin mengenali posisi “sastra Amerika Latin di pentas dunia.” Rumah Kertas, selain menjelaskan visi pengarangnya, juga meladeni banyak gosip, pertemanan dan pertengkaran, cemooh dan kasih sayang, antara para pengarang dan karya-karyanya dan para pembaca. Sesekali ia juga mengomentari sifat despotik rezim diktator dan perubahan masyarakat yang memperlakukan ponsel dan gawai sebagai “wabah kelisanan”, termasuk para penulis yang lebih gemar berpolemik sebagai “medan tempur riuh rendah” alih-alih mempercakapkan pengalaman menulis itu sendiri (Ya, anda menemukan hal sama seperti ini di Indonesia).

Bagian yang paling bikin saya terhenyak adalah ketika si tokoh mendatangi sebuah pondok tempat si biliofil gila itu, yang dibangun oleh tumpukan ribuan buku, di “tempat yang terlupa, di ujung dunia” yang melumatkan “hubungannya yang akrab dengan aspek-aspek paling pelik dari buku-buku telah berakhir dengan terdampar di pantai sepi terpencil.” Itu saat si tokoh mencari-cari apa yang sebetulnya tak terpahami, gambaran yang hanya bisa ia duga-duga bila bukan kesia-siaan, dari sisa-sisa reruntuk pondok itu bersama halaman-halaman buku yang rompal dan jasad karya-karya para raksasa yang telah memancarkan pengaruh dan meliputi kesusasteraan Amerika Latin. Saya membacanya sebagai metafora—ia adalah atlas bagi para pengarang sebagai navigasi membangun jalan karyanya sendiri setelah betapa menawan dan beringas sekaligus rapuhnya warisan-warisan karya para pengarang terkenal sebelum mereka. Barangkali juga sepenuhnya bukanlah metafora, tetapi María Domínguez menghamparkan pembaca pada prakonsepsi sewaktu si tokoh sesaat “membayangkan akan menemukan edisi pertama Alt, satu lagi Darío, dalam kondisi prima, … tapi yang tercerabut malah bata mustahil kerangka García Márquez, bubur lengket yang dulunya Lope de Vega, sampul kaku Balzac.” (Gambaran ini seketika membuat saya berpikir: Kau takkan mungkin menyamai Pramoedya Ananta Toer, misalnya, tetapi kau bisa hanya bila kau serius mendalami dan mengambil gagasan dalam novel-novelnya dan, bersama pengaruh-pengaruh lain, kau mengaduknya dalam sebuah karya yang sepenuhnya milik kau; tetapi, di saat bersamaan atau nantinya, dalam hukum waktu yang menggilas, mayoritas dari kita makin menjauh dari karya-karya Pram, sebagaimana kita sama sekali tak membaca karya Balzac, Borges, Lorca, atau lainnya.)

Saya membaca Rumah Kertas dengan rasa ngeri, betapa pun buku ini mengisahkan kegilaan seorang bibliofil. Satu kalimat yang terus menghantui saya: “Dipaksa memilih antara buku dengan hidup itu sendiri, orang-orang memilih menjadi algojonya.”

Ya, kita semua lahir, dan tumbuh, dari negeri yang mengagungkan penjagal!*

Filep Karma

FK
Filep Karma di stasiun Tugu Yogyakarta setelah datang menghadiri sidang pra-peradilan atas kasus rasialisme yang menimpa mahasiswa Papua. ©2016

Ia besar bukan dengan peluru. Dan satu setengah bulan usai kejatuhan Soeharto menyulut bara kebebasan politik di Papua yang nantinya berumur pendek, sebutir peluru melesat begitu dekat hingga menggores sebilah pipinya dan ia merasakan panas dari timah api yang terbakar memancar di belakangnya. Ia bersyukur, bagaimanapun, dan menyadari berhari-hari kemudian saat dirawat di ranjang rumah sakit di samping seorang polisi, si opsir itu mengatakan bahwa peluru tersebut, yang akan membunuhnya bersama ratusan orang Papua lain yang dibuang ke laut di hari aksi menuntut referendum, sudah pasti datang dari penembak jitu. Ia ditangkap dan dijebloskan ke penjara dan ia mengajukan banding dan bebas. Tetapi, dengan menyimpan hati nurani yang makin bergolak, ia kembali mencium bilik jeruji negara Indonesia—kali ini dalam tempo yang panjang—dan itulah senjatanya: Seseorang dengan sepenuh sadar mengangkut kata-kata kebebasan yang diringkus dari kemerdekaan dan kemanusiaan yang dibunuh, dan sebab itulah ia dibui, dan kata-kata itu bukannya padam tapi justru kian menemukan api. (lebih…)

“O”, Eka Kurniawan

O dll
Puthut EA, Eka Kurniawan, Yusi A. Pareanom, AS Laksana, Linda Christanty — dua nama terakhir segeralah menerbitkan novel! 🙂

BARU menamatkan O. Di awal rada bosan. Bagian tengah sampai akhir sangat menyenangkan. Novel dengan gagasan yang kompleks dan main-mainnya brengsek. Lewat O, Eka menurutku bikin standar tinggi dalam seni novel. Ia tak hanya bisa menghidupkan monyet, tapi juga mengocok kisah cinta sebagai dongeng politis.

Jika Halimunda selesai dibaca sebagai latar era pergolakan Indonesia dalam sejarah politik modern, maka Rawa Kalong adalah antitesisnya soal kehidupan pinggiran dari dunia politik Orde Brengseknya Soeharto. Selama duabelas tahun sejak novel perdananya terbit, dari Cantik itu Luka sampai O, Eka kian tebal saja mematangkan gagasan politisnya lewat seni bercerita. Bedanya: O menampakkan keseriusannya menggarap unsur main-main dalam novel.

Personifikasi Kaisar Dangdut bisa dibikin sangat konyol, dan kekuasaan Soeharto bisa digambarkan dalam cara ejekan penuh keriangan. Adapun Jakarta adalah alegori para begal, anjing, pengamen, babi, pemulung; singkatnya, lapisan kehidupan yang gelap dari pandangan novelis Indonesia kebanyakan.

O adalah proyek penulisnya menafsir kisah yang terdapat dalam Hikayat Seribu Satu Malam, atau kita bisa juga menyebutnya mengambil dari surat dalam Alquran. Hasilnya adalah dunia jenaka yang memadukan filsafat, politik, komedi, dan budaya populer Indonesia.

Kesabaran Eka membangun plot, dan menghidupkan puluhan karakter, dari manusia sampai binatang atau dunia Animal Farm-nya Orwell, bagiku, menggagumkan. Salah satu bacaan yang asyik tahun ini, bersanding dengan dongeng tapir buntung Raden Mandasia!

29 April 2016 — Catatan di Facebook, diunggah di sini karena bagaimanapun blog tetaplah arsiparis terbaik di tengah banjir informasi.

Bersenang-senang dengan Raden Mandasia

Raden Mandasia & Singa Tertawa
Raden Mandasia (2016) digarap Yusi Avianto Pareanom sebagai selingan, tapi jadi keterusan, di tengah penulisan novel yang lain. Di sampingnya adalah kumpulan cerita Rumah Kopi Singa Tertawa (2011), keduanya diterbitkan Banana. Kesamaan keduanya:  rigorous, teliti dalam struktur, dan segar dalam mengantarkan cerita.

BILA efek dongeng bisa menawarkan kamu sejenak keluar dari rutinitas, dan kisah petulangan menyeretmu masuk ke dalam motif dari satu (atau sejumlah) tindakan, maka Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi jelaslah pilihan yang mesti kamu baca. Fiksi jenis ini juga memberimu keasyikan lain:  Surgawi lidah, pengalaman erotis, ilmu pertukangan dan pelayaran, permainan logika, ensiklopedia soal tanaman dan bermacam jenis burung. Dan karena ini adalah kisah tempo dulu (saya kurang tahu persisnya kapan, tapi kita dipersilakan menerka belaka), ia juga dilumuri sekuens pertarungan atau adegan kekerasan.

Cerita besarnya: seorang anak muda di usia paling bergairahnya dipaksa minggat dari rumah, dan sambil membawa dendam, ia menjalani petualangan ke negeri-negeri jauh, lalu pulang dengan amarah yang telah pulih. Kita menghadapi dongeng dengan manusia-manusianya yang lugu, lucu, jatmika, sekaligus keropos. Penulisnya, (saya menyebutnya “Paman Wimba” merujuk salah satu tokoh selintas tapi berperan maksimal sebagaimana seluruh karakter lain) yang enggak takut miskin saking pemurahnya, menghadiahi kita seluruh pengalaman hidup manusia.

Dongeng ini juga, demi dewa-dewa yang hidup di masanya, menghindari frasa paling klise sejak kita mengenal cerita silat dan para pendekarnya: berkelebat. Saking murahnya frasa macam itu, Anda takkan menemukannya. Kita justru mendapati beragam umpatan yang aduhai. Karena kisah-kisah di dalamnya nyaris mengisi separuh Bumi, kita menemukan artikulasi cerita yang begitu teliti pada perihal yang sebagian besar dari kita tak mengetahuinya, atau melewatkan begitu saja, dan menyadari sesudahnya menjadi pengalaman baca yang mengasyikkan. Sebagaimana dongeng, ia lentur pada imajinasi, dan strateginya menyamarkan rujukan membuat dongeng yang obsesif pada catatan kaki sejarah terlihat mubazir belaka.

Saya tidak tahu sejak kapan orang memakai cerita demi motivasi (Anda bisa baca Sang Alkemis-nya Coelho—yah, itu satu-satunya karya Coelho yang saya baca), atau latar sejarah sebagai roman (sebut apa saja di sini, salah satunya Arus Balik-nya Pram). Tapi Raden Mandasia lain dari kategori macam di atas. Ini adalah satu jalan memutar: legenda yang hidup bersama dongeng dan mitos didekati oleh pengarangnya dengan acuan baru.

Yang baru itu bisa apa saja, tapi yang menonjol adalah cara penceritaannya. Ia melenyapkan jejak pembingkaian dan pembabakan yang episodik khas suatu babad, dan faktor terpenting lain—yakni bahasa—menjadi jembatan untuk mengocok nunsa serba-mutakhir dan serba-arkaik. Dengan tetap memakai sebutan semisal “sepelemparan tombak” untuk jarak serta perhitungan musim dan pergerakan matahari sebagai ukuran waktu, kita tetap terikat pada kisah lawas.

Dan, memanglah, pilihan atas pendekatan itu menjadi daya kejut yang lengkap di kalimat pungkas. Si pemuda desa Sungu Lembu, karakter utama yang mengisi dongeng 488 halaman ini menulis, bahwa upayanya mengisahkan perjalanannya, sebagai saksi atas kebangkitan dan keruntuhan kerajaan besar, dengan versi yang dia karang manasuka ini adalah suatu pilihan yang sengaja. Sebab, demikian dia menulis, bila dia jadi memakai judul ceritanya sebagai Babad Tanah Jawa, maka dia yakin itu akan bikin gusar banyak orang.

Penyamaran rujukan dan pendekatan baru itu jelaslah memiliki keuntungan berganda untuk dongeng ini: sangat terbuka dibaca oleh anak-anak muda, dan unsur main-mainnya membebaskan kita untuk bersenang-senang atas mitos, sejarah, maupun legenda.

Bila Arus Balik-nya Pram (dua kali lipat ketebalannya dari Raden Mandasia) adalah upaya eksesif pengarangnya atas bangunan kesadaran Nusantara, yang kental dengan epos heroisme pemuda desa bernama Wiranggaleng, maka Raden Mandasia adalah suaka yang menempatkan dongeng sebagaimana adanya. Tidak ada khotbah, apalagi anjuran untuk hidup baik-baik sebagaimana menjangkiti fiksi Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir (maupun fiksi yang dibebani kisah-kisah penderitaan orang Indonesia dalam pusaran sejarah).

Kita membacanya, kita menikmatinya, kita tertawa. Sesederhana dan sepuas itu!

Bagi saya, setelah dihadiahi ketelitian pengarangnya dalam bentuk dan struktur serta kesegaran dalam mengantarkan cerita lewat Rumah Kopi Singa Tertawa (2011), novel pertama Raden “Yusi” Mandasia ini akan selalu memanggil saya untuk membuka lagi halamannya hanya untuk, misalnya, menjawab perkara teka-teki yang disodorkan Putri Tabassum kepada para pelamarnya. Atau, menengok umpatan yang menyenangkan di dalamnya.

Benar-benar bualan yang tapir buntung!

____

Anda bisa pesan Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi lewat penerbitnya Banana.

Lelucon: bila tak sampai menarik 40 juta pembaca dari 200 juta penduduk Indonesia,  maka nasib malang belaka sastra Indonenong. 🙂