Tag: Papua

Filep Karma

FK
Filep Karma di stasiun Tugu Yogyakarta setelah datang menghadiri sidang pra-peradilan atas kasus rasialisme yang menimpa mahasiswa Papua. ©2016

Ia besar bukan dengan peluru. Dan satu setengah bulan usai kejatuhan Soeharto menyulut bara kebebasan politik di Papua yang nantinya berumur pendek, sebutir peluru melesat begitu dekat hingga menggores sebilah pipinya dan ia merasakan panas dari timah api yang terbakar memancar di belakangnya. Ia bersyukur, bagaimanapun, dan menyadari berhari-hari kemudian saat dirawat di ranjang rumah sakit di samping seorang polisi, si opsir itu mengatakan bahwa peluru tersebut, yang akan membunuhnya bersama ratusan orang Papua lain yang dibuang ke laut di hari aksi menuntut referendum, sudah pasti datang dari penembak jitu. Ia ditangkap dan dijebloskan ke penjara dan ia mengajukan banding dan bebas. Tetapi, dengan menyimpan hati nurani yang makin bergolak, ia kembali mencium bilik jeruji negara Indonesia—kali ini dalam tempo yang panjang—dan itulah senjatanya: Seseorang dengan sepenuh sadar mengangkut kata-kata kebebasan yang diringkus dari kemerdekaan dan kemanusiaan yang dibunuh, dan sebab itulah ia dibui, dan kata-kata itu bukannya padam tapi justru kian menemukan api. (lebih…)

Cukup adalah Cukup

Peta kerapatan penduduk pendatang dan asli di Papua, 2012.

TAK LAMA setelah pemerintahan Joko Widodo terbentuk, isu “Papua” kembali naik. Namun—tak lebih beda dari 10 tahun era Yudhoyono sebelumnya—”Papua” masih dilihat melalui kacamata Jakarta. Setidaknya dari dua rencana usang: usulan (kembali) mengirim rakyat Indonesia dari daerah padat penduduk, sebagian besar terdapat di Jawa, lewat transmigrasi, dan pembentukan dua provinsi baru di ujung timur Indonesia itu.

Itu bukan isu baru. Kendati ada (sekilas) harapan baru melihat figur Jokowi. Ia memulai kampanye pemilihan presiden dari Papua, sementara pasangannya, Jusuf Kalla mendatangi Aceh—dua provinsi paling bergejolak sepanjang sejarah politik kekerasan yang disponsori negara. Dalam sinyal yang telah diberitakan pelbagai media, mereka “tak menolak” ide pemekaran di Papua.

Selalu ada retorika, dan seni dari silat-lidah yang berumur tua ini bertujuan memikat hati pendengar. Ini dilakukan oleh sebagian besar ambtenaar di Indonesia, tak hanya Jokowi maupun Kalla. Isu pemekaran, selalu bertumpu dari tabir alasan untuk “meningkatkan kesejahteraan” rakyat. Di Papua, ada sentimen yang lebih paranoid lagi, sehingga retorikanya dapat dimainkan lewat sapu sihir nasionalisme. Selain “NKRI harga mati”—artinya dorang dapat NKRI, kitong dapat mati (satu mop yang menakik nurani mama-mama Papua). Juga, tak mengherankan dari partai yang ultra-nasionalis macam PDIP, melalui salah satu kader ideologisnya, Tjahjo Kumolo (ditunjuk menteri dalam negeri) mengatakan pemekaran itu untuk memperkuat ketahanan dari “intervensi asing.”

Retorika-retorika macam ini menutup realitas yang telah menumpuk, dan bikin rakyat Papua makin berani menuntut haknya, mempertaruhkan nyawa dan kehilangan sanak-keluarga. Retorika itu—yang dipromosikan oleh kekuatan media dan diperkeras oleh pengerahan kekuatan bersenjata—sudah bikin semua kekuatan sipil di Papua tidak lagi mempercayai institusi pemerintah, menyalurkan demonstrasi di jalan, memutus urat nadi harapan, dan dalam komunikasi publik yang berjalan di atas lumpur, gilirannya yang sering muncul adalah retorika tandingan: “Merdeka” versus “NKRI”, semuanya adalah “harga mati.”

Yang mati kerapkali individu-individu dari luar lingkaran sumber pertikaian, mengutip istilah Aditjondro, adalah hamparan rumput, lapisan terbawah, “pendatang” maupun “orang asli” Papua, yang lebih banyak mengeluarkan keringat untuk lapisan kelas di atasnya.

Elit Papua dan Jakarta tentu diuntungkan dari kematian-kematian orang Papua itu.

Di Marauke, kawasan selatan Papua, sebuah rumah-kaca politik pertentangan dari desain parasit yang diusulkan Jakarta, membawa dampak yang telah nyata: penduduk lokal Papua terusir dari lahan komunalnya lewat perkebunan-perkebunan besar yang dibawa oleh sumber-sumber keuangan raksasa melalui MIFEE. Sebagaimana terjadi di provinsi-provinsi lain, rezim ekstraktif disertai eksploitasi telah banyak melakukan proses-proses peminggiran. Di Merauke—telah diusulkan lama sebagai ibukota dari provinsi baru di Papua, melalui proses lobi para elit lama dan tua dengan menunggangi identitas suku—bukan hal aneh lagi anak-anak Papua tanpa ibu maupun bapak mencari uang dengan mengemis, satu gejala sosial yang aneh di Papua.

Pemekaran adalah saluran uang untuk kaum elit Papua. Transmigrasi dengan sponsor negara telah menyusutkan jumlah penduduk asli Papua, sementara aksi politik afirmatif untuk kaum perempuan di Papua berjalan stagnan, bahkan untuk apa yang sekian lama dituntut oleh mama-mama pedagang, dari Merauke hingga Jayapura. Sumber-sumber kekayaan alam dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran kaum bisnis dan elit Jakarta serta pelbagai perusahaan multinasional.

Sebagaimana kolega saya menulis, “membangun Papua dengan hati”—yang pernah dibilang Yudhoyono dan diikuti Jokowi—selalu terdengar menarik untuk dikutip, namun orang Papua mengenal betul pernyataan itu. Ia adalah ungkapan yang selalu diulang setiap ada kepentingan yang menginginkan keuntungan dari (sumber daya) Papua.

Orang Papua selalu mengenang Abdurrahman Wahid dengan penuh martabat. Ia menerima kecaman dari hampir semua lawan politiknya karena menolak pendekatan keamanan atas Papua dan ia dimakzulkan. Tapi justru, dari poin itulah, “membangun Papua dengan hati” memerlukan keberanian. Dua presiden berikutnya tak mau memakai bahu Wahid.

Pemerintahan Jokowi, lewat sejumlah sinyalemen di media, tampaknya juga menolak teladan Wahid itu.[]

Bredel Buku Papua

Bagaimana pemerintah Indonesia terus menekan suara orang Papua

 

KABAR buruk pembungkaman kemerdekan berbicara dan berpendapat kembali terjadi. Sasarannya sebuah buku karya orang Papua, “Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat,” yang ditulis Socratez Sofyan Yoman, seorang pendeta sekaligus Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua (The Fellowship of Baptist Churches of Papua). Buku ini diterbitkan Galangpress dari Yogyakarta, Desember 2007.

Kejaksaan Agung melarang buku Yoman beredar di pasaran. Keputusannya bernomor 052/A/JA/06/2008, ditandatangi Jaksa Agung Republik Indonesia Hendarman Supandji, pada 20 Juni 2008. Ia diedarkan ke seluruh institusi kejaksaan se-Indonesia. Dasarnya, Undang-undang Nomor 4/PNPS/1963, 23 April 1963, tentang “Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya Dapat Menganggu Ketertiban Umum.” (lebih…)