Potret Hemingway

Orang-orang meniru cacatnya, mencuri irama dan ritmenya, dan menyebutnya sebagai ‘Mazhab Menulis Hemingway.’

Oleh Lillian Ross

 

ernest-hemingway_1936815b

 

AKU BERTEMU ERNEST HEMINGWAY kali pertama saat hari sebelum Natal pada 1947 di Ketchum, Idaho. Saat itu aku dalam perjalanan pulang menuju New York dari Meksiko, tempat aku menemui Sidney Franklin, matador Amerika dari Brooklyn, untuk kutulis sosoknya buat rubrik profil di The New Yorker.

Hemingway sudah lama mengenal Franklin sebagai matador di Spanyol pada akhir 1920-an dan awal 1930-an. Aku pergi melihat sejumlah corrida—gelanggang pertarungan—bersama Franklin di Meksiko, dan mendapati diriku terhenyak dan ketakutan sampai mati kaku saat menyaksikan untuk kali pertama adu manusia versus banteng di sebuah arena. Meski aku mengapresiasi usaha mati-matian matador dengan jubah merahnya mengalahkan banteng, dan atmosfer seremonial bersemangat yang menyelimutinya, aku tak begitu jatuh cinta pada permainan ini. Kupikir yang membuatku tertarik adalah bagaimana Franklin, anak dari polisi pekerja keras di Flatbush, menjadi seorang matador.

Sewaktu Franklin berkata Hemingway adalah orang Amerika pertama yang bicara dengan cerdas tentang adu matador versus banteng, aku menelepon Hemingway di Ketchum. Hemingway menyukai liburan di sana, bermain ski dan berburu, jauh dari rumahnya di San Francisco de Paula, dekat Havana, Kuba. Ia kemudian membeli sebuah rumah di Ketchum. Saat kutelepon, Hemingway sedang menginap di sebuah kabin turis bersama istrinya, Mary, dan anak-anaknya—John, Patrick, dan Gregory—serta beberapa teman mancing dia dari Kuba. Ia bermurah hati mengundangku dalam perjalanan pulang ke Timur.

Pukul 7 pagi, aku melihat Hemingway di depan kabin turis setelah kereta tiba. Ia berdiri di atas hamparan salju yang keras, dalam suhu dingin yang kering minus 10 derajat, beralas sandal kamar tanpa kaos kaki. Ia mengenakan pantolan Western dengan sabuk Indian bergesper perak dan kaos olahraga tipis berkerah dengan saku kancing model Western. Kumisnya kelabu, tapi saat itu dagunya belum bercambang. Dalam pelbagai foto yang dikenang, Hemingway kelak menampilkan bakat seorang patriark yang memancar keagungan dan inosens—suatu aura yang entah bagaimana tampaknya tak pernah bertentangan dengan sifat kasarnya.

Pagi itu ia terlihat kasar dan kekar dan bersemangat dan ramah dan baik. Badanku dilapisi mantel tebal tapi membeku diterpa cuaca dingin. Sebaliknya Hemingway, saat kutanya, berkata tak merasa kedinginan sama sekali. Ia seakan memiliki tubuh hangat mengagumkan. Aku menikmati hari yang indah dengan mengobrol dan belanja Natal bersama Hemingway dan para sahabatnya.

Mary Hemingway, seperti suaminya, adalah orang yang hangat dan ramah dan cerdas, serta mampu membawa dirinya begitu apik mengisi peran yang sulit sebagai istri pengarang terkenal. Mary menikmati hal sama yang dilakukan suaminya, dan bagiku sendiri terlihat sebagai pasangan sempurna untuk Hemingway.

Segera setelah kunjungan itu, Hemingway menulis dari Kuba bahwa ia pikir aku orang terakhir di dunia yang cocok mengerjakan artikel tentang pertarungan matador. Tetapi  aku terus melaju, dan akhirnya merampungkan profil Franklin. Setelah editor majalah menerima naskahku, aku mengirim beberapa pertanyaan kepada Hemingway. Ia membalas dalam sebuah surat dengan jawaban yang sangat membantu, dan berkata menantikan artikelku dengan rasa cemas. The New Yorker akhirnya mempublikasikan versi lebih ringkas dari naskah aslinya. Hemingway dan istrinya, keduanya pembaca reguler, agaknya menyukai artikelku.

Sewaktu naskah profil Franklin itu terbit, aku menerima surat tulisan tangan Hemingway dari Villa Aprile, Cortina d’Ampezzo, Italia. Ia bilang artikel yang kutulis tentang Franklin itu bagus. Dalam kehidupannya yang sibuk, ia mengingat dengan baik apa yang ia ucapkan sebelumnya, dan dengan murah hati mengoreksinya saat hal itu dirasa penting. Pujian darinya tegas dan tulus dan dirancang untuk membuat seseorang merasa tenteram. Ia mungkin berkata kamu dapat diandalkan dan membandingkanmu dengan Joe Page dan Hugh Casey, dan kamu tak perlu menjadi arsiparis bisbol untuk menyadari kamu sedang dipuji. Caranya menulis lewat surat, caranya bicara, dengan sendirinya membuatku merasa baik—begitu segar dan indah.

Ia ramah saat mengobrol, begitu terus terang, tak mau menutupi gagasan atau pikirannya atau lelucon dari pendapatnya. Ia mungkin saja menimbun perasaan yang jauh lebih terpendam. Namun, apa pun perasaan itu, ia berkata dengan kemurahan hati belaka. Ia memberimu banyak wejangan, dan selalu dibumbui dengan kegembiraan dan pemahaman dan kasih sayang dan sensitivitas tajam. Saat ia bicara, ia begitu hidup. Suara dan isi pesannya memendarkan kebebasan.

Pada musim semi 1950, aku menulis profil tentang Hemingway, sebuah naskah yang simpatik, menggambarkan dua hari Hemingway dan Mary di New York. Aku berusaha mendeskripsikan setepat mungkin bagaimana Hemingway, yang memiliki keberanian tiada banding, terlihat dan terdengar saat bertindak dan berbicara, untuk menggambarkan sebagai orang biasa  yang unik dengan vitalitas dan semangat menggebu. Sebelum terbit, aku mengirimkan naskah itu ke pasangan Hemingway. Mereka mengembalikannya dengan menandai beberapa koreksi, dan Hemingway berkata bahwa profilnya lucu dan bagus, serta mengusulkan hanya satu deskripsi yang perlu dihapus.

Namun, sesuatu yang aneh dan misterius menimpaku sesudah naskah tersebut terbit. Hal macam ini tak pernah kualami sebelumnya, atau terjadi sesudahnya. Baik Hemingway maupun editor The New Yorker tak menyangka naskah profil itu menyulut kontroversi.

Kebanyakan pembaca memperlakukan naskah itu biasa saja, dan aku percaya mereka menikmatinya dalam cara yang simpel. Namun, sejumlah pembaca tertentu melontarkan reaksi kasar, dan dalam cara yang rumit. Di antara mereka, yang sangat membenci kepribadian Hemingway, menilai aku telah memperolok  persona Hemingway, dan dengan begitu, aku dianggap sekubu dengan mereka.

Pembaca lain tak suka saja dengan cara Hemingway bicara (mereka bahkan keberatan dengan caranya melucu yang kadang-kadang dilontarkan dalam lelucon bahasa Indian); mereka tidak menyukai kebebasannya; mereka benci pembawaannya yang santai; mereka sinis bahwa pengarang paling terkenal ini membuang-buang waktu untuk menonton pertandingan tinju; pergi ke kebun binatang, mengobrol dengan teman-temannya, pergi memancing, menikmati waktu bersama teman-teman, dan merayakan bukunya yang bakal terbit dengan pesta kaviar dan sampanye. Intinya, mereka tak suka ini dan tak suka itu. Mereka tidak suka Hemingway menjadi Hemingway.

Mereka ingin Hemingway menjadi orang lain—mungkin menjadi apa yang dibayangkan oleh mereka sendiri. Dengan begitu, mereka tiba pada satu kesimpulan bahwa aku seharusnya tak menulis tentang Hemingway.

Mungkin saja mereka didorong prasangka cupet yang menyedihkan bagaimana seharusnya seorang pengarang jagoan bertingkah, dan boleh jadi prasangka itu bertentangan dengan kenyataan. Atau, mereka menyeretku atas sikap penolakan mereka yang sok suci terhadap Hemingway, dan karena itu mengutukku. Beberapa dari mereka, dengan pikiran konyol, bahkan menyebut profil yang kutulis itu “kurang ajar.”

Saat Hemingway mendengar semua ini, ia menulis untuk menenangkanku. Pada 16 Juni 1950, ia menulis bahwa aku tak perlu khawatir, dan orang-orang itu cuma pengin buang unek-unek yang ngawur. Ia juga beberapa kali menyebut sikap orang-orang itu sebagai pengganggu. Beberapa orang, katanya, gagal memahami bahwa seorang pengarang punya cara sendiri menikmati hidup dan enggan menjadi pribadi yang sangat menakutkan. Mereka, tulis Hemingway, gagal memahami bahwa ia pengin menjadi pengarang serius tanpa menjadi sosok yang angkuh.

 

KEMATIAN MENEMPATKAN PIKIRAN tertentu ke dalam suatu perspektif. Tak sangsi lagi, terhadap orang-orang yang keliru memahami naskah profilku tentang Hemingway dan membacanya lagi sekarang, mereka dapat melihatnya untuk apa aku menulis naskah tersebut.

Saat aku menggarap profil itu, aku berusaha menulis hanya pada apa yang kulihat dan kudengar, dan menghindari komentar atu pendapat atau penilaian apa pun terhadap tindak-tanduk Hemingway. Akan tetapi, seiring waktu, aku meyakini sekarang bahwa setiap pembaca bisa menilai perasaanku yang sarat sayang dan kagum terhadap Hemingway, melalui suaraku dan setiap detail yang kususun, dalam seluruh atmosfer yang kuciptakan pada naskah profil tersebut, kendati aku tak mengungkapkan sudut pandangku secara langsung. Aku menyukai Hemingway apa adanya, dan aku senang jika profil yang kutulis itu menangkap secara tepat apa yang dilakukannya selama dua hari di New York.

Di sisi lain, sebagai orang yang masa bodoh pada “peringkat” karya Hemingway, alih-alih merasa cukup bersyukur dengan menikmati karya yang sudah ia berikan kepada kita, aku mungkin saja dinilai telah melemparkan sekelumit unek-unek para pengkritiknya, dengan celaan menyakitkan, saat membahas tahun-tahun terakhir kehidupan Hemingway dan apa yang mereka anggap sebagai penurunan kualitas karyanya.

Ejekan mereka kadang terdengar bahwa Hemingway seolah membiarkan reputasinya telah menurun, terlebih karena Hemingway menikmati dirinya sebagai figur publik. Padahal, sebagaimana yang kusaksikan, Hemingway mengisi hari demi hari dengan menulis sedemikian keras dan sebaik yang ia bisa, secara heroik dan penuh-seluruh dan tanpa kompromi, sampai hari kematiannya.

Dan saat ia letih menulis, ia melakukan apa yang menurutnya sanggup dikerjakan dengan vitalitas total. Kemudian, dengan kemurahan hati, ia mengizinkan pengalaman pribadinya menjadi konsumsi publik supaya orang lain dapat menikmati waktu yang indah.

Dalam pelbagai kesempatan berbeda, ia sangatlah pemurah. Lewat surat-suratnya dan obrolan bersama para sahabatnya, Hemingway mencurahkan perhatian dengan seluruh energinya, yang mungkin orang lain akan mengisi seluruh waktu itu dengan menggarap karya. Gaya menulis suratnya mengandung corak berbeda dari karyanya: bebas dan longgar dan penuh dengan penyingkatan (sejak ia menyadari waktu semakin singkat). Isi surat-surat itu jauh lebih bebas ketimbang tulisan formalnya. Dan tanpa letih ia terus menulis surat.

Saat aku pergi ke Hollywood selama 1,5 tahun sesudah aku menulis profilnya, buat menggarap artikel mengenai produksi sebuah film, aku menerima puluhan surat darinya. Ia menyampaikan pandangannya tentang film dan pembuatan film dan kehidupannya di Pantai, serta tanpa sungkan memberitahuku dan membuatku terhibur, lewat cerita memancing dan petualangan lain di Kuba.

Saat ia pergi ke Afrika untuk berburu pada 1953, ia menulis bahwa betapa menakjubkan kehidupan di sana. Afrika, demikian katanya, adalah segala kehidupan terbaik dari apa pun, dan ia mengundangku menyusul ke sana untuk menjajalinya. Seperti biasa, ia mengakhiri surat itu agar aku menulis balasan segera. Ia tak ingin berhenti menulis surat, sebab jika ia tak menerima surat balasan dari siapa pun, itu akan bikin ia kesepian.

Mary sesekali menulis surat dan membuat Hemingway diliputi antusiasme dan humor. Mary menulis dari Kenya. Bahwa Kenya adalah tempat paling asyik di dunia buat bangun pagi; bawa kau akan menjumpai seekor badak seberat dua ton sebelum fajar saat perjalananmu mencuci muka. Itu adalah tempat yang bikin kita menghargai apa artinya menetap. Banyak orang lain yang dikenal pasangan itu—orang yang mengenal mereka lebih baik ketimbang aku—mungkin juga mendapat undangan serupa untuk datang ke sana demi merasakan kesan dan pengalaman pasangan tersebut. Pasangan ini selalu ramah dan bersahabat. Mereka selalu mengundangmu untuk mengunjungi mereka di Kenya atau di Paris atau di peternakan mereka di Kuba. Aku minta maaf aku tak pernah bisa menyanggupi ajakan itu.

 

TAK SEORANG PUN mampu membodohi Hemingway tentang perkara menulis atau kepengarangan. Ia tahu keduanya, dan ia tahu dengan sangat mendalam.

Ia tahu kapan seorang penulis selesai dengan kepengarangannya atau berlaku culas, tak peduli seberapa hebat reputasi si penulis atau seberapa banyak uang yang diterimanya dari perusahaan film. Tentang dirinya, ia menulis pada 8 Agustus 1950, bahwa sepanjang hidupnya ia berusaha untuk belajar menulis dan mengetahui dan memahami lebih baik.

Orang-orang, katanya, meniru cacatnya, mencuri irama dan ritmenya, dan menyebutnya sebagai ‘Mazhab Menulis Hemingway.’ Tak seorang pun, ujarnya, mengharapkan ia dalam keadaan yang baik.

Namun, ia kemudian memikirkan ulang perkataan itu, lalu menulis pikiran itu keliru, karena ada banyak orang mendoakannya dalam keadaan baik tapi ia menduga mereka sungkan mengatakannya.

Ia jalani pekerjaan menulis dan kesusastraan dengan sangat serius. Dan apa pun yang diminta padanya, ia selalu berusaha memberinya. Ia tanggap meladeni para penulis muda. Sekali waktu aku minta ia memberi daftar bacaan yang mungkin ia rekomendasikan. Ia memberikan daftar itu:

Boule de Suif dan La Maison Tellier — Guy de Maupassant

The Red and the Black — Stendhal

Les Fleurs du Mal — Charles Baudelaire

Madame Bovary — Gustave Flaubert

Remembrance of Things Past — Marcel Proust

Buddenbrooks — Thomas Mann

Taras Bulba — Nikolai Gogol

The Brothers Karamazov — Fyodor Dostoyevsky

Anna Karenina dan War and Peace — Leo Tolstoy

Huckleberry Finn — Mark Twain

Moby Dick — Herman Melville

The Scarlet Letter — Nathaniel Hawthorne

The Red Badge of Courage — Stephen Crane

Madame de Mauves — Henry James

Apa pun yang kau ajukan kepada Hemingway—demikianlah kesan yang kudapati—ia selalu bersikeras memberimu tanggapan yang akan sangat membantu. Pada satu kesempatan, sesudah aku menulis artikel panjang, aku berkata padanya aku ingin menggarap artikel lebih ringkas dan lebih mudah ketimbang sebelumnya. Ia menjawab aku harus menulis lebih sulit dan lebih baik lagi sampai aku mati. Hanya saja jangan mati, ia menambahkan. Dan menjelaskan bahwa mati adalah satu-satunya perkara yang ia tahu yang benar-benar tidak berguna.

Ia juga sangat membantu untuk urusan remeh-temeh. Saat aku di California untuk belajar menunggangi kuda, Hemingway menyarankanku agar tidak naik kuda yang besar atau gemuk tapi tunggangilah kuda yang lebih kecil, lebih pintar, dan setidaknya ada kuda yang ia maksud itu. Tentang Hollywood, ia menasihatiku ringkas saja: Jangan terlalu lama-lama di sana.

Hemingway dikenal seorang romantis, yang melampaui perkara realistis, terutama bagi kalangan pemikir serius. Bagiku sebutan macam ini selalu menggambarkan Hemingway adalah suara pengamat dan pencerap realitas. Pernah aku mendengar perihal menyenangkan mengenai anaknya, John, dan Hemingway menulis ia sangat mencintai anaknya. Ia lantas menambahkan, dalam hidupnya, ia juga mencintai tiga benua, sejumlah pesawat dan kapal, lautan, putrinya, istrinya, kehidupan dan kematian, pagi, siang, petang, dan malam, honor, ranjang, tinju, renang, bisbol, menembak, memancing, dan membaca dan menulis dan semua gambaran indah.

Tak lama sebelum ia meninggal, saat dirawat di Klinik Mayo di Rochester, Minnesota, Hemingway menulis bahwa ia sedang mengatasi serangan tekanan darah yang dibilangnya “nonsens” tapi juga tengah menggarap sebuah karya. Ia dan Mary ingin segera keluar dari sana untuk pergi ke sejumlah tempat saat orang-orang akan membiarkan mereka sendirian dan “biarkanlah aku menulis.”*

— 1961

__

Portrait of Hemingway” kali pertama terbit dalam Reporting, antologi 7 reportase Lilian Ross yang terbit pada 1961. Artikel ini adalah pengantar profil Hemingway berjudul “How Do You Like It Now, Gentlemen?” Ross, meninggal pada 20 September 2017 kemarin dalam usia 99 tahun, adalah penulis The New Yorker sejak 1945 sampai ia pensiun.

2 pemikiran pada “Potret Hemingway

Tinggalkan komentar