Dongeng Saturnus

#1

Malam tadi ada seseorang yang sekarat. Ia menguburkan urat-urat nadinya di suatu lubang pohon di suatu tempat tanpa nama sesunyi kuburan. Ia masih hidup. Hanya saja kini ia menguji batas kematian hingga sejauh waktu. Itu tak terhingga atau, jika nasibnya sial, ia bisa saja terbunuh di sebuah tempat yang tak pernah ia duga.

Ia telah mengemasi masa lalunya ke dalam lembaran kertas kemudian kertas-kertas itu ia bakar dan abunya ditaburkan di lantai 3. Angin November menerbangkan helai-helai daun kertas itu, berwarna hitam sepekat malam, melayang bebas menuju laut utara. Ia mengencangkan kepalanya seakan-akan jika sedetik saja terlepas, kepalanya terburai seperti tubuh seekor kucing yang acapkali tertabrak di suatu jalan bebas hambatan.

Urat-urat nadi itu, yang dipampatkan ke dalam lubang pohon seperti rongga matanya, mengeras akibat terlalu sering ia mengendalikan perasaannya. Kamu dapat melihat urat nadinya itu seperti urat-urat pohon.

Aku menyebut seseorang yang sekarat itu sebagai Manusia Saturnus.

#2

Di Saturnus, setiap airmata dijadikan bahan es yang padat, tak mencair dan tak mengenal gravitasi, yang membentuk cincin planet. Setiap kelahiran Manusia Saturnus, airamatanya segera diserap. Saat mereka mencapai usia-mengenal-perasaan, mereka segera dibawa ke Mesin Pendeteksi Perasaan. Segera seluruh perasaan itu dibikin sejelas-jelasnya: apakah dapat tertawa, sedih, senang, bahagia – pendeknya, semua kata sifat yang menajamkan seseorang memiliki perasaan. Jika mereka mampu mengendalikan perasaan, mereka akan hidup lama di Saturnus. Jika tidak, mereka dibuang ke planet Bumi. Begitulah dongeng ini bermula.

Kehidupan di Saturnus tampak seperti kamu percaya terhadap Ideologi atau mengamini sebentuk lembaran kosong tapi menenteramkan dari janji-janji Surga. Semuanya dibikin seragam.

Karena mereka sekuat mungkin dipaksa mengendalikan perasaan, urat-urat Manusia Saturnus terlihat seperti urat-urat sebatang pohon. Bagi yang gagal, mereka melayang-layang di Bumi, mencerap apa yang tak pernah ada di Saturnus: mengarungi sebanyak-banyaknya emosi dan penderitaan. Kelak, saat mereka mengalami pahitnya kesedihan, membuang semua hal yang terkandung dalam perasaan cinta sebesar perasaan sedih, terperangkap di dalamnya, dan Waktu yang mengenal lebih banyak kata terlambat, mereka pun menyadari bahwa mendiami planet Saturnus lebih membuat mereka stabil daripada menetap di Bumi.

Maka, mereka kembali ke tempat asalnya, sebuah planet dengan gugusan cincin terbuat dari airmata itu.

Kita mengenal dongeng lain tentang seorang manusia yang dihukum membawa bongkahan batu ke puncak bukit namun selalu gagal selagi yakin perjuangannya tercapai. Itulah Sisyphus. Pada saat itulah mereka kembali menuju planet Saturnus seraya melakoni dongeng Sisyphus.

#3

Sekarang mari kita giliran cerita tentang Lelaki Saturnus.

Sesudah kembali ke planet asalnya, dengan perjalanan selama 30 tahun, ia adalah lelaki ke-2061 yang gagal mengendalikan perasaan. Saat itu usiaku sudah 80 tahun namun aku menunda kematian begitu lama berkat sirup ajaib. Sirup ini aku dapatkan dari danau Hakuna Matata. Anda dapat meredam kesedihan dan kesepian hanya minum setetes sirup dari botol berwarna kabut itu.

Si Lelaki Saturnus membawa semua kenangan akan besarnya cinta sebesar duka. Ia mencecapnya selama menetap di planet Bumi. Saat kembali, ia menebarkan jejaknya dalam bayangan kekal. Dalam satu kesempatan, ia menemukan dirinya di seruas jalan lurus tanpa nama berusia ratusan tahun. Ia berhenti seketika seakan terhenyak. Ia menyadari ia sendirian. Mendadak batu es dalam dadanya mencair, menyebar melalui urat-urat nadinya, begitu terasa sakitnya sampai ke ujung jari seperti dingin yang menjalar dari ujung kaki.

Batu es itu mengeras di pintu kedua bola matanya sampai-sampai matanya berwana merah semerah bulan purnama yang pucat. Disadarinya, ia takkan pernah dapat menangis. Itu adalah nasib Manusia Saturnus. Sejak mereka lahir, segala airmata dihisap lebih dulu demi bahan es yang padat untuk membentuk cincin planet. Bola matanya kian berwarna merah pekat sesudah mengetahui takkan ada seorang pun yang dapat diajaknya bicara. Ia hanya menghela nafas. Panas dan kering. Seolah-olah ada zat dalam tubuhnya yang terbuat dari abu meteorit.

Saat itu yang dipikirkannya ini: ia pergi ke Bumi hanya untuk membawa pulang kesedihan. Di jalan tanpa nama itu, ia meninggalkan satu jejak kesedihan dan menyadari tak ada orang lain yang mengetahuinya. Ia merasa seperti seekor semut yang mati di sebuah hutan raya. Dunia tak memedulikan matinya satu makhluk kecil yang ramping itu. Sebuh Bentuk Kesepian Sempurna.

Pohon-pohon menghimpit jalan. Rimbun meninggi di atas kepalaku.

#4

Jika kamu menemukan Lelaki Saturnus, di mana pun ia berada – saat di jalan, di kedai kopi, saat ia menekuri bacaan di pojokan toko buku, sedang lari-lari pagi, berada di tengah hutan raya, duduk di tepi sungai dari perkampungan rawa-rawa, atau menjumpainya selagi ia beraktivitas apapun sedari ia terjaga di pagi hari dan memadamkan tubuhnya di malam hari – ingatlah saja bahwa ia kini suka mendengarkan sebuah lagu tentang kunang-kunang: so let me you take all along the riverbank – And let me saya I love you – I can always be your fireflies – Come with me…

Ia mendengarkannya sesering ia memugar matanya berkaca-kaca atau sebanyak tawa dari matanya yang berhamburan di kala senja.

#5

Sesering senja, Lelaki Saturnus melabuhkan tubuhnya pada bangku taman. Bangku itu setinggi lutut di atas rerumputan. Taman itu menjadi jantung dari jalan-jalan penghubung berkanopi di antara satu rumah dengan rumah lain. Ada dua buah kolam ikan. Di atas kolam itu ada pancuran, tersusun menyerupai kelopak daun, kian ke atas kian mengecil. Bunyi air kadang-kadang bergemericik seakan-akan menyuarakan sudut matanya.

Jembatan kecil melintang di atas sebuah kolam yang lebih besar. Pijakan kaki, membentuk lingkaran permukaan batang pohon yang terpapras, berderet mengelilingi taman. Tanaman hias memagari taman itu.

Ini senja kelima dan terakhir bagi Lelaki Saturnus. Burung gereja melintas di dalam matanya. Seekor kucing bermalasan di sebuah anak tangga. Ada cericit nyaring burung-burung mungil di balik rumah; sesekali mereka muncul seakan-akan hendak mengejutkannya.

Senja terakhirnya itu, 115 kilometer dari pelabuhan, Lelaki Saturnus akan merindukan perasaannya di taman ini. Tak seorang pun tahu bahwa taman itu telah menyimpan rahasianya sesepi orang-orang mengunjungi Taman Saturnus.

#6

Aneh sekali. Mereka berkeliling seharian itu, jalan berpuluh-puluh kilo, memutari sebagian planet Saturnus, kepanasan, berkeringat, berdebat sepele apakah perlu membeli anggur yang bulat menggoda itu, tertawa lepas dan ringan, berkejaran dengan waktu yang merayap malam, menghela nafas kecapekan – untuk selanjutnya, 18 hari kemudian, seseorang di antara mereka mengingat peristiwa itu di sebuah jalan lurus tanpa nama itu. Jalan itu dihimpit lahan-lahan gambut dan air payau berwarna teh, bermil-mil jauhnya dari planet Saturnus. Lelaki Saturnus terbangun saat retina matanya menyadari perubahan warna langit melalui jendela mobil. Itu senja hari. Ingatan membulat sesederhana bola matanya membuka. Ada yang pelan-pelan mengisi dadanya. Ada getaran pelan. Saat itulah ia tersenyum.

Ini senyum pertamanya sejak Lelaki Saturnus tak memiliki lagi Oktober. [end]

Jakarta – Sampit, November 2010.

*dari lyrics Fireflies by Risky Summerbee & The Honeythief on “The Place I wanna Go” album.

Tinggalkan komentar