Saran bagi Editor

HUBUNGAN PENULIS DAN EDITOR bisa berbuntut jadi relasi yang peka. Penulis mungkin menganggap editor sebagai orang yang gemar mencari-cari kesalahan, memeriksa secara detail dari perkara remeh seperti ejaan, kendati yang lebih penting adalah memelototi logika bahasa, struktur cerita, dan lebih utuh lagi: gagasan yang disampaikan penulis apakah solid atau lemah. Sementara editor mungkin saja melihat penulis sebagai primadona. Keduanya, bila sama-sama enggak rapi menanganinya, bisa meruncing jadi tekanan yang bikin frustrasi, dan gilirannya kemungkinan: 1. naskah bakal kelar lama; 2. mereka saling memendam rasa sengit; 3. ketidaksabaran menghancurkan orisinalitas; 4. kombinasi 2 dan 3 membuat kemungkinan ke-5: naskah akhir menjadi lebih buruk dari naskah awalnya.

Ada banyak probabilitas lain, dan di celah itu, kita bisa melihatnya dari contoh cerita: Kau sebagai editor pernah bilang begini: Naskahmu kurang ini dan kurang itu. Lalu penulis, yang menyimpan keyakinan sebagai pembaharu atau melihat dirinya sebagai Borges Baru atau Pram Baru atau Hersey Baru atau Capote Baru (mental yang bagus sekali ketimbang kau melihat Tere Liye sebagai gandaanmu), melihat respons “kurang ini dan kurang itu” dari editor dinilai sebentuk serangan, telah menyentuh sisi paling sensitif otoritasnya, dan kemudian ia segera merespons (yang tidak sampai menenggak racun serangga) bahwa kritikmu inkompeten, tidak pada tempatnya, kau keliru total, salah membaca naskahku, dan sembari menyimpan kesal, ia bilang: Aku mencabut naskah ini dari kamu, aku akan mengirim ke editor lain dari penerbit atau media lain, dan aku yakin, tanpa peranmu atau peran tangan editor, naskahku bisa kuterbitkan sendiri (situasi yang lebih gampang sekarang ini di tengah tren media sosial dan media digital).

Seorang editor, bahkan bila pekerjaan ini sebagai sampingan, bisa sangat gembira menerima naskah yang menurutnya bagus dengan segala preferensinya dan rujukan bacaannya (sebagaimana sering kuekspresikan), dan sebaliknya bisa seketika mati lemas menjumpai naskah buruk-saja-belum (sebagaimana sering kutemui). Dan, karena itu, kita bisa melihat gambaran ini: tidak setiap penerbit besar atau media berumur tua merilis karya-karya bagus (lebih seringnya karya yang laku keras) sebagaimana tidak setiap penerbit kecil (atau yang mendaku independen) atau media alternatif sudah pasti merilis naskah bagus (lebih seringnya laku atau dibaca secara terbatas). Karena itu, dalam sejarah relasi produksi ini, kita seringkali menjumpai ada naskah-naskah yang, berkat panggilan natural maupun profesional bernama perhatian, baru mendapat lampu sorot belakangan bahkan jauh sesudah penulisnya meninggal bertahun-tahun lalu. Ada banyak sebab yang melatarinya, misalnya soal selera (yang menguji kesabaran untuk diperdebatkan), situasi politik literatur (tiga dekade menyepikan kajian Kiri di kampus-kampus Indonesia), atau politik kontrol dari otoritas-otoritas penerbitan (dari zaman Balai Pustaka-nya Hindia Belanda sampai Guritamedia-nya tokobuku yang situasinya sekarang ini sudah berubah total di era internet). Itulah yang memungkinkan kita mendengar lelucon Lelaki Harimau-nya Eka Kurniawan dan Lomba Novel DKJ, gairah bangkotan Ben Anderson yang menghidupkan ‘Tjamboek Berdoeri’, dan ilustrasi cerita yang bikin saya berani merogoh kantong untuk mentraktir minum orang yang mengatakannya: kau perlu menyisipkan kata ‘senja’ bila pengin naskah fiksimu lebih berpeluang dimuat Kompas.

Tetapi, saya akan menyudahi perkara belakangan, sebabnya: 1. keluar dari tujuan saya menulis ini; 2. menuangkan ekspresi sekilas-sekilas sudah tidak cocok lagi dimuat di blog (sudah ada mikroblog seperti Twitter dan Facebook) selain jatuhnya pada kesia-siaan dan kegenitan belaka; 3. perkara no. 2 perlu ditulis serius karena menjawab perkara no. 4: muncul kritik khusus di Indonesia (saya tidak tahu harus membayangkan ‘Indonesia’ yang mana) kalau negara berpenduduk lebih dari 250 juta dengan minat baca masyarakatnya 0,001 persen ini dalam keadaan mati-lemas kritik sastranya. Pendek kata, saya harus kembali ke perkara no. 1: saya sedang menulis bagaimana memelihara hubungan yang baik antara editor dan penulis, meski tidak menjamin hubungan masing-masing dari mereka juga berjalan baik dengan pasangannya (dan karena itu kita perlu orang seperti Mario Teguh), dengan mengambil dari 5 saran yang dimuat blog penulisan nonfiksi Poynter.

Jadi apa yang perlu diingat oleh editor dan penulis? Ada dering bel di kepala kalian yang harus selalu diingat: editor dan penulis memiliki tujuan bersama, yakni melayani pembaca sebaik mungkin.

Sebagai editor, kau bisa lebih berhasil menggarap naskah bersama penulis dengan mengikuti saran-saran ini (dan menurut saya sangat berguna):

  • Baca seluruh cerita (setebal buku atau sepanjang 20.000 kata sekalipun) sebelum membuat perubahan. Kau perlu menghayati (atau merasakan?) struktur dan fokus ceritanya sebelum kau menyunting naskah tersebut. Sejumlah rasa penasaranmu atau pertanyaan-pertanyaanmu yang seketika muncul di awal, mungkin saja akan dijawab di akhir naskah.
  • Sebutkan kekeliruan. Jangan edit atau mengubah apapun hanya karena caranya menulis enggak sesuai dengan caramu menulis. Uraikan secara spesifik apa yang perlu diubah dan jelaskan alasanmu. Kau bisa menulis, misalnya, “Kalimat ini perlu ditulis ulang karena mengandung kesalahan logika bahasa dan bikin bingung.”
  • Pahami peranmu. Bila kau bekerja di sebuah institusi penerbitan atau media, dan ada aturan baku untuk seorang editor, pahami tugasnya dan apa yang diharapkan institusi tersebut terhadap editor. Perubahan apa dalam naskah yang kau tangani tanpa perlu konsultasi dengan penulisnya? Bila aturannya belum sempurna, masih semrawut, pergunakan kesempatan itu selagi mengedit naskah dengan mengusulkan sejumlah aturan baku. Setidaknya, dengan mendiskusikan tugas kau sebagai editor, hal itu dapat membantumu sebelum kau memulai menyunting. (Tentu saja, aturan baku editing ini seringnya berlaku internal, dan kau bisa melihat setiap penerbitan atau media punya aturan baku yang berbeda, meski masing-masing bisa saling belajar atau bahkan mengoreksi sebagian aturan yang dapat menjelaskan bahwa bahasa, sebagai aspal komunikasi umat manusia selain senjata pemusnah massal, selalu bergerak seiring era.)
  • Bersikaplah fleksibel. Pengecualian selalu hadir nyaris di setiap aturan. Jangan terlalu kaku pada aturan yang akan menghancurkan, mengoyak-ngoyak dan menghanguskan (ini tambahan dari saya sendiri, kesal sih sama orang yang saklek sama aturan baku), tulisan yang begitu cakap dan kreatif. Terkadang sebuah karya menampilkan kehebatannya ketika aturan-aturan penulisan (yang lebih sering menjerat, memenjarakan) dibuat lebih lentur.
  • Bersikaplah respek terhadap penulis yang naskahnya sedang kau tangani. Ingatlah bahwa kalian berbagi tujuan yang sama, yakni menghadirkan karya sebaik mungkin. Sentuh naskah si penulis dengan menghormati gaya tulisannya, sekalipun itu bukan style kamu dalam menulis.

_____

2 pemikiran pada “Saran bagi Editor

  1. Mungkin Kak Fahri Salam ada Saran yang lain: Saran Bagi Penulis atau Saran bagi Pembaca.

Tinggalkan komentar